Selasa, 30 Juni 2015

Konflik Antar Umat Beragama



KONFLIK  ANTAR  UMAT  BERAGAMA DI POSO SULAWESI TENGAH
MAKALAH




Oleh:
SITI MUKHAROMAH                               140210301015                   





PENDIDIKAN PANCASILA
UPT BIDANG STUDY MATA KULIAH UMUM (BSMKU)
UNIVERSITAS JEMBER
2014

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkat bimbingannya kami mampu menyususn makalah ini.
Makalah yang kami susun ini merupakan kutipan dari beberapa sumber buku ataupun di internet yang kami rangkum menjadi sebuah bentuk tulisan yang sistematis, semoga pembaca dapat memahami bahwa perlunya kita mengetahui permasalahan di masyarakat khususnya “ konflik antar umat beragama” yang dari tahun ke tahun menjadi sorotan di berbagai media masa.
Akhir kata kami berharap makalah ini menjadi inspirasi yang baru untuk karya-karya selanjutnya dan dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membutuhkan informasi tentang masalah “konflik antar umat beragama” mohon maaf bila ada dalam makalah ini terdapat kekurangan, oleh sebab itu kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca.

Jember, 27 Oktober 2014

Tim penyusun







DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR  .......................................................................... i
DAFTAR ISI ………………………………………….......................... ii
BAB I.  PENDAHULUAN ........................................................ ........... 1
1.1    Latar Belakang ...................................................... ........... 1
1.2    Perumusan masalah .............................................. ........... 2
1.3    Tujuan dan Manfaat.......................................................... 3
BAB II. PEMBAHASAN ........................................................... ........... 4
2.1 Akar permasalahan dan penyebab konflik antar
      agama di Poso Sulawesi Tengah........................................ 4
2.2 Solusi konflik antar agama di Poso  Sulawesi
      Tengah.................................................................................. 7
2.3 Cara Mencegah Konflik antar Agama.............................. 8
2.4 Sikap yang harus dikembangkan agar nilai-nilai
     dalam sila pertama tetap terwujud..................................... 10
BAB III. PENUTUP ................................................................... ........... 12
3.1 Kesimpulan ............................................................. ........... 12
3.3 Saran ........................................................................ ........... 12

DAFTAR PUSTAKA





BAB 1.PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Toleransi merupakan salah satu elemen penting dalam kehidupan beragama, khususnya di Indonesia. toleransi merupakan suatu kebutuhan terlebih indonesia merupakan negara pluralis. Tidak hanya memiliki berbagai macam suku,ras,bahasa,tetapi indonesia juga mempunyai berbagai macam agama. Agama yang diakui di indonesia sebanyak enam yaitu islam,kristen,khatlik,hindu,budha.dan khong hucu. Dengan agama yang bermacam-macam ini memberikan andil besar terhadap terjadinya konflik. Banyak contoh konflik antar agama yang terjadi di Indonesia misalnya konflik di Ambon Maluku,di Poso Sultra,di situbondo dan masih banyak lagi. Dalam hubungannya dengan agama, hal itu memberikan kesan yang kuat dan sangat mudah menjadi alat provokasi dalam menimbulkan ketegangan di antara umat beragama. Ketegangan ini antara lain disebabkan karena: 1) umat beragama seringkali bersikap untuk “memonopoli” kebenaran ajaran agamanya sementara, agama lain diberi label tidak benar. Sikap seperti ini, dapat memicu umat agama lain untuk mengadakan “perang suci” dalam rangka mempertahankan agamanya; 2) umat beragama seringkali bersikap konservatif, merasa benar sendiri (dogmatis) sehingga tak ada ruang untuk melakukan dialog yang kritis dan bersikap toleran terhadap agama lain.
            Dengan berbagai macam agama yang terdapat di Indonesia pada saat perumusan pancasila masalah keanekaragaman agama di indonesia mendapat sorotan serius hingga melakukan pergantian.Pada awalnya menurut Piagam Jakarta (22 Juni 1945) bunyi sila pertama yaitu Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya,namun mengingat masyarakat indonesia terdiri dari berbagai macam agama maka bunyi sila yang pertama di ganti dengan Ketuhanan Yang Maha Esa. Yang bunyi sila yang pertama ini diharapkan bisa mempersatukan bangsa Indonesia dan terciptanya kerukunan antar umat beragama.
            Selanjutnya agar pembinaan kehidupan beragama tetap dalam kerangka pembinaan dan memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa, maka perlu diperhatikan hal-hal berikut:
1. Peningkatan keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam rangka menumbuhkan kesadaran beragama bagi setiap pemeluknya. Kesadaran beragama itu tidak saja mewujud dalam kepekaan moral, melainkan juga dalam kepekaan sosial, sehingga dengan demikian tidak membuat fanatisme dan eksklusivisme, melainkan menumbuhkan toleransi sosial dan sikap terbuka.
2. Negara menjamin kebebasan beragama dan bahkan berusaha membantu pengembangan kehidupan beragama dalam rangka pembangunan. Masing-masing umat beragama memperoleh kesempatan seluas-luasnya untuk menjalankan dan mengembangkan kehidupan agama mereka.
            Selain kedua hal tersebut toleransi antar umat beragama harus tetap dijalankan agar tidak terjadi intoleransi yang bisa menimbulkan konflik. Toleransi diartikan memberikan tempat kepada pendapat yang berbeda. Pada saat bersamaan sikap menghargai pendapat yang berbeda itu disertai dengan sikap menahan diri atau sabar. Oleh karena itu, di antara orang yang berbeda pendapat harus memperlihatkan sikap yang sama, yaitu saling menghargai dengan sikap yang sabar.Jadi, toleransi dapat diartikan sebagai sikap menenggang, membiarkan, dan membolehkan, baik berupa pendirian, kepercayaan, dan kelakuan yang dimiliki  seseorang atas yang lainnya. Toleransi antar umat beragama di Indonesia populer dengan istilah kerukunan hidup antar umat beragama. Istilah tersebut merupakan istilah resmi yang dipakai oleh pemerintah. Kerukunan hidup umat beragama merupakan salah satu tujuan
pembangunan bidang keagamaan di Indonesia. Gagasan ini muncul terutama dilatarbelakangi oleh meruncingnya hubungan antar umat beragama.
            Dengan sedikit pernyataan diatas maka isi makalah yang akan kami angkat adalah kami mengambil salah satu contoh nyata konflik yang ada di indonesia dan akan menjabarkan akar permasalahannya, penyebab dan solusinya. Selain itu juga menjelaskan sikap apa yang seharusnya dikembangkan agar nilai-nilai yang terkandung dalam sila yang pertama tetap terwujud.

1.2  Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka fokus permasalahan dirumuskan kedalam beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Apa sajakah akar permasalahan dan penyebab yang mendorong terjadinya konflik antar agama di Poso Sulawesi Tengah ?
2..Apa solusi yang harus dilakukan untuk mengatasi konflik antar agama tersebut ?
3.Bagaimanakah cara untuk mencegah terjadinya konflik antar umat beragama ?
4.Sikap apa sajakah  yang harus kita kembangkan agar nilai-nilai yang terkandung dalam sila pertama tetap terwujud ?
1.3 Tujuan dan Manfaat
1.3.1 Tujuan
Mengacu kepada permasalahan yang diajukan di atas, maka ada beberapa hal yang menjadi tujuan dalam penelitian ini. adapun tujuan yang ingin dicapai adalah:
1.Menganalisis apa akar permasahan dan penyebab terjadinya konflik antar agama di Poso Sulawesi Tengah.
2.Menganalisis apa solusi yang dilakukan untuk menangani koflik antar agama di Poso Sulawesi Tengah.
3.Mengidentifikasi cara yang dilakukan untuk mencegah intoleransi dan konflik antar agama.
4.Mengembangkan sikap yang berdasarkan pada nilai-nilai yang terkandung dalam bunyi sila pertama.
1.3.2 Manfaat
            1.Sebagai pengembangan ilmu pengetahuan yang sejenis.
            2.Sebagai alat pemicu kesadaran masyarakat dalam kehidupan antar agama.
           

BAB 2.PEMBAHASAN

2.1 Akar Permasalahan dan Penyebab Konflik antar Agama di Poso Sulawesi Tengah
            Kerusuhan yang terjadi di Poso, Sulawesi Tengah ini secara umum merupakan konflik horizontal antar kelompok masyarakat setempat. Dilihat dari sisi dinamika kelompok (in group-outgroup), sikap keberpihakan dan identitas keagamaan dari para warga dan tokoh-tokoh yang terlibat, secara kasat mata terlihat bahwa dalam konflik kerusuhan Poso melibatkan kelompok muslim (putih) di satu pihak dan kelompok Kristiani (merah) di pihak yang lain. Namun begitu tidak berarti bahwa secara otomatis “agama” merupakan faktor utama penyebab konflik. Agama dalam konflik tersebut lebih banyak berperan sebagai faktor pengiring yang meningkatkan eskalasi konflik. Identitas keagamaan telah dimananfaatkan sebagai alat yang efektif untuk mencari dukungan, legitimasi dan memperkuat posisi masing-masing kelompok yang berkepentingan. Sementara penyebab utamanya diduga kuat adalah faktor-faktor di luar agama, yakni berbagai kesenjangan di bidang politik, ekonomi, hukum, tidak efektifnya pemerintahan dan aparat keamanan, serta dampak suasana globalisasi dan reformasi yang cenderung makin liar dan tak terkendali.
Faktor penyebab Konflik Poso
Dalam laporan Pemda Poso tertanggal 7 Agustus 2001 dinyatakan antara lain bahwa kerusuhan Poso diawali sebuah kasus kriminalitas biasa (perkelahian) antara beberapa oknum pemuda. Namun dalam waktu singkat berkembang sedemikian rupa menadi isu SARA, sehingga mengundang konflik massa yang tidak terkendali dan mengakibatkan timbulnya kerusuhan. Berkembangnya masalah kriminalitas tersebut menjadi isu SARA tidak berjalan dengan sendirinya, tetapi telah dimananfaatkan dan direkayasa sedemikian rupa menadi sebuah isu SARA oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dengan latar belakang kepentingan tertentu. Karena itu persoalan yang memicu timbulnya kerusuhan bukanlah masalah SARA, tetapi masalah kriminalitas yang dikemas dalam simbol-simbol SARA.[1][2]  
Dari laporan jurnalistis, konflik Poso disebut sebagai tragedi tiga babak. Kerusuhan pertama berlangsung tanggal 25-30 Desember 1998, yang kedua 15-21 April 2000, sedangkan kerusuhan ketiga tanggal 23 Mei-10 Juni 2001. Rentetan peristiwa kerusuhan Poso menurut paparan Sinansari Ecip dan Darwin Daru, konflik Poso dimulai dari kerusuhan pertama pada tanggal 25 Desember 1998 (kebetulan Natal dan bulan puasa) karena pertikaian dua pemuda yang berbeda agama.Pertikaian itu terus berlanjut hingga mengundang kelompok massa untuk melakukan aksi yang anarkis.
Konflik individual ini kemudian melibatkan kelompok pemuda agama (masing-masing perwakilan dari korban dan pelaku yang berbeda agama) yang berlanjut ke pembakaran toko dan rumah-rumah warga yang sebelumnya tidak terlibat.Terjadinya konflik dan perilaku kekerasan dalam masyarakat tergantung dari sumber potensi konflik yang ada. Ada beberapa faktor yang dapat memicu terjadinya konflik, selain agama, yaitu ketidakadilan ekonomi, ketidakstabilan politik, serta ketimpangan sosial. Meskipun konflik Poso mengatasnamakan ‘agama’ sebagai penyebab konfliknya, namun harus dilihat terlebih dahulu apakah benar agama sebagai faktor dibalik konflik tersebut. Untuk itulah, dibutuhkan pemahaman terlebih dahulu mengenai kondisi masyarakat Poso yang menjadi poin terjadinya konflik. 
a.      Faktor Politik
Meskipun pemicu awal munculnya konflik di Poso ini adalah karena pertikaian pemuda namun sebenarnya terdapat muatan politik berkaitan dengan suksesi bupati. Ketidakpuasan politik inilah yang menjadi akar permasalah konflik. Pada 1998, ketika mantan Bupati Poso Arief Patanga akan mengakhiri masa kepemimpinannya, terlihat sinyalemen terjadinya gesekan di tingkat politisi partai yang menginginkan perubahan kepemimpinan. Pergesekan antara politisi partai akhirnya merambah hingga ke tingkat akar rumput. Akhirnya muncullah kelompok-kelompok di masyarakat yang berlawanan haluan dengan kebijakan politisi partai. 
Terendusnya praktik korupsi yang dilakukan oleh kroni-kroni Bupati Arief Patanga membuat yang bersangkutan berupaya mengalihkan isu. Korupsi Korupsi bermula dari pemberian dana kredit usaha tani (KUT) sebesar Rp 5 miliar pada 1998 oleh pemerintah pusat. Saat ada upaya pengungkapan kasus korupsi itu, orang-orang yang terlibat korupsi menggalang massa untuk melakukan aksi untuk mengalihkan isu korupsi yang berkembang. Bahkan ada selebaran yang berisi penyerangan tokoh Kristen yang sengaja diedarkan ke masyarakat. Hal itu kemudian semakin memperuncing konflik masyarakat yang beragama Islam dan Kristen.
Kekerasan yang terjadi tersebut tidak mendapat respons yang memadai dari aparat keamanan. Kegiatan itu terlihat dibiarkan sehingga terus terjadi dan meluas. Karena pembiaran oleh aparat, eskalasi kekerasannya meningkat hingga terjadi pembakaran rumah penduduk, gereja, dan masjid. Bahkan terjadi pembantaian di Pesantren Walisongo, Sintuwelemba, yang lokasinya di tengah-tengah komunitas Kristen.
b.      Faktor Ekonomi
Poso telah dimasuki pendatang Kristen dan Islam sejak masa pra-kolonial, namun proporsi migrasi yang signifikan baru terjadi pada masa orde baru. Hal itu terjadi sejak dibangunnya prasara jalan trans-Sulawesi dan pembangunan berbagai pelabuhan laut dan udara yang semakin memudahkan perpindahan penduduk. Tanpa disadari proses pembangunan ekonomi di Poso membawa dampak bagi orang Kristen setempat yakni proses Islamisasi yang cepat dan kesenjangan ekonomi. Keadaan ini lebih dipertajam lagi dengan banyaknya angka pengangguran kaum terpelajar karena sempitnya atau langkanya lapangan konflik yang sesuai dengan pendidikan yang pernah ditempuh.
Akibat urbanisasi dan kesenjangan ekonomi, politik dan budaya antara umat beragama ini menyebabkan perubahan pola-pola hubungan antar umat beragama terutama antara Muslim dan Kristiani.Pertumbuhan urbanisasi yang cepat akan mengantarkan masyarakat ke arah modernisasi sering terjadi konflik nilai-nilai tradisional yang masih kuat dengan nilai-nilai baru yang belum mapan di masyarakat. Konflik nilai tersebut berpengaruh besar terhadap perilaku masyarakat dan dapat mendorong masyarakat ke proses desintegrasi,alienasi, disorienttasi, disorganisasi, segmentasi dan lain sebagainya.
Umat Islam yang hidup di Poso tidak rela dan tidak senang kalau melihat pemuda-pemuda Kristen yang minum-minuman keras serta mabuk-mabukan di jalan, apalagi di bulan suci Ramadhan. Oleh karena itu sasaran pengrusakan atau amuk massa Islam tatkala gagal mencari pemuda Kristen yang memukul pemuda Islam di masjid adalah Toko Lima, tempat penjualan minuman keras terbesar di Poso. Peristiwa inilah merupakan awal mula bentrok fisik antara massa Islam dan Kristen. Peristiwa hari Jum’at tanggal 26 Desember 1998 inilah yang merupakan pelampiasan emosi keagamaan antara Islam dan Kristen yang berpangkal pada perbedaan dan kesenjangan sistem nilai budaya antara komunitas tersebut
            Dari pernyataan diatas dapat dianalisis bahwa konflik yang terjadi di Poso diawali dengan pertengkaran antar pemuda.Dari pertengkaran antar pemuda tersebut menjadi meluas takkala kedua orang yang berkonflik berbeda agama yang satu bergam islam yang satu beragama Kristen.Sebenarnya konflik tersebut hanya sedikit yang disebabkan oleh perbedaab agama namun karena ada pihak ang mempunyai kepentingan maka konflik tersebut berubah menjadi konflik antar agama.Konflik antar kedua agama ini mengakibatkan kerusakan pada beberapa tempai ibadah seperti gereja dan masjid.Konflik ini terjadi bertepatan pada saat bulan ramadhan yang tentunya pada bulan tersebut umat muslim sedang menjalankan ibadah puasa.Namun di lain pihak orang kristen di poso malah  bermabuk-mabukan di bulan yang bagi orang muslim adalah bulan suci.Melihat kejadiaan ini orang-orang muslim di poso marah dan melampiaskan kemarahannya pada toko yang menjual miras terbesar diposo.Selain itu konflik yang terjadi di Poso juga disebabkan oleh perbedaan dan kesenjangan  sistem nilai antar komunitas tersebut dan kerena adanya kecemburuan sosial.Konflik yang terjadi di Poso juga dimanfaatkan oleh kelompok berkempentingan untuk mengalihkan isu yang pada saat itu sedang hangat-hangatnya dibicarakan oleh masyarakat yaitu masalah korupsi yang dilakukan oleh bupati Poso.
2.2 Solusi Konflik antar Agama di Poso
Untuk menyelesaikan konflik di Poso, telah dilakukan Deklarasi Malino untuk Poso (dikenal pula sebagai Deklarasi Malino I). Deklarasi itu ditandatangani pada 20 Desember 2001 oleh 24 anggota delegasi kelompok Kristen (merah) dan 25 anggota dari delegasi kelompok Islam (putih). Terdapat 10 poin dalam kesepakatan tersebut, yakni:
1.      Menghentikan semua bentuk konflik dan perselisihan.
2.      Menaati semua bentuk dan upaya penegakan hukum dan mendukung pemberian sanksi hukum bagi siapa saja yang melanggar.
3.      Meminta aparat negara bertidak tegas dan adil untuk menjaga keamanan.
4.      Untuk menjaga terciptanya suasana damai menolak memberlakukan keadaan darurat sipil serta campur tangan pihak asing.
5.      Menghilangkan seluruh fitnah dan ketidakjujuran terhadap semua pihak dan menegakkan sikap saling menghormati dan memaafkan satu sama lain demi terciptanya kerukunan hidup bersama.
6.      Tanah Poso adalah bagian integral dari Indonesia. Karena itu, setiap warga negara memiliki hak untuk hidup, datang dan tinggal secara damai dan menghormati adat istiadat setempat.
7.      Semua hak-hak dan kepemilikan harus dikembalikan ke pemiliknya yang sah sebagaimana adanya sebelum konflik dan perselisihan berlangsung.
8.      Mengembalikan seluruh pengungsi ke tempat asala masing-masing.
9.      Bersama pemerintah melakukan rehabilitasi sarana dan prasarana ekonomi secara menyeluruh.
10.  Menjalankan syariat agama masing-masing dengan cara dan prinsip saling menghormati dan menaati segala aturan yang telah disetujui baik dalam bentuk UU maupun dalam peraturan pemerintah.
Setelah Deklarasi Malino untuk Poso diberlakukan, konflik terbuka antarkelompok di Poso berhasil dihentikan sementara. Namun dalam perjalannanya, kekerasan di Poso masih kerap terjadi. Berbagai kasus bermunculan seperti teror, upaya mengadu domba yang dapat dilihat melalui penembakan-penembakan misterius, pembunuhan, peledakan bom, bahkan dengan tulisan-tulisan di dinding rumah penduduk yang sifatnya provokasi. Pada 2002 hingga 2005 telah terjadi setidaknya 10 kali teror bom yang merenggut puluhan nyawa. Peristiwa tersebut kembali menimbulkan rasa trauma, saling curiga dan meningkatkan sensitivitas di tingkat masyarakat.
Penyelesaian konflik di Poso yang dilakukan oleh pemerintah selama ini lebih mengedepankan pendekatan keamanan daripada komunikasi. Karena itu apa yang diinginkan oleh pihak-pihak yang bertikai serta akar penyebab konflik tidak pernah tersentuh. Akhirnya yang terjadi siatuasi keamanan di Poso bersifat fluktuatif. Agar keamanan di Poso bersifat permanen, perlu dilakukan mediasi kedua pihak yang bertikai yakni masyarakat beragama Islam dengan yang beragama Kristen, dan dimediatori oleh pemerintah pusat sebagai pihak yang netral. Selain itu perlu pendekatan budaya mengingat Poso adalah daerah yang sangat heterogen. Terlebih sebelumnya, masyarakat Poso baik yang asli maupun pendatang hidup berdampingan dengan damai dengan mengusung nilai-nilai kearifan lokal.
Agar kehidupan umat beragama kembali rukun dan harmonis maka sebagai maka cara yang paling baik dan utama dilakukan adalah bersilaturahmi dengan pemeluk agama lain termasuk dalam menjalankan pelayanan sosial mereka.Selain itu kita haru menghilangkan rasa curiga dengan pemeluk agama lain.Tapi yang lebih penting adalah bertoleransi.Jika dipikir-pikir buat apa kita berkonflik dan mencurigai ini merupakan sesuatu yang tidak ada untungnya bahkan menimbulkan kerugian.Akibat fatal dari adanya konflik antar umat beragama adalah kehancuran persatuan dan kesatuan bangsa indonesia.Yang ini dapat merusak nila-nilai pancasila sila pertama. 

2.3 Cara Mencegah Konflik antar Agama
Cara mencegah konflikyang utama dan utama adalah bertoleransi antar umat beragama di Indonesia populer dengan istilah kerukunan hidup antar umat beragama. Istilah tersebut merupakan istilah resmi yang dipakai oleh pemerintah. Kerukunan hidup umat beragama merupakan salah satu tujuan pembangunan bidang keagamaan di Indonesia. Gagasan ini muncul terutama dilatar belakangi oleh meruncingnya hubungan antar umat beragama. Adapun sebab musabab timbulnya ketegangan intern umat beragama, antar umat beragama, dan antara umat beragama dengan pemerintah dapat bersumber dari berbagai aspek sebagai berikut:
1. Sifat dari masing-masing agama yang mengandung tugas dakwah atau missi.
2. Kurangnya pengetahuan para pemeluk agama akan agamanya sendiri dan agama pihak lain.
3. Para pemeluk agama tidak mampu menahan diri, sehingga kurang menghormati bahkan memandang rendah agama lain.
4. Kaburnya batas antara sikap memegang teguh keyakinan agama dan toleransi dalam kehidupan masyarakat.
5. Kecurigaan masing-masing akan kejujuran pihak lain, baik intern umat beragama,antar umat beragama, maupun antara umat beragama dengan pemerintah.
6. Kurangnya saling pengertian dalam menghadapi masalah perbedaan pendapat (Depag, 1980: 38).
            Secara universal konflik antar agama bisa dicegah dengan beberapa aspek yaitu:
1. Sikap yang diterjemahkan dalam: a) sikap saling menahan diri terhadap ajaran,keyakinan dan kebiasaan golongan agama lain yang berbeda, yang mungkin berlawanan dengan ajaran, keyakinan dan kebiasaan sendiri; b) sikap saling menghormati hak orang lain untuk menganut dengan sungguh-sungguh ajaran agamanya; dan c) sikap saling mempercayai atas itikad baik golongan agama lain.
2. Perbuatan yang diwujudkan dalam: a) usaha untuk memahami ajaran dan keyakinan agama orang lain; b) usaha untuk mengemukakan keyakinan agama sendiri dengan sebijaksana mungkin untuk tidak menyinggung keyakinan agama lain; c) untuk saling membantu dalam kegiatan-kegiatan sosial untuk mengatasi keterbelakangan bersama; dan d) usaha saling belajar dari keunggulan dan kelebihan pihak lain sehingga terjadi saling tukar pengalaman untuk mencapai kemajuan bersama(Tarmizi Taher, 1997: 9).
Selanjutnya agar pembinaan kehidupan beragama tetap dalam kerangka pembinaan dan memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa, maka perlu diperhatikan hal-hal berikut:
1. Peningkatan keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam rangka menumbuhkan kesadaran beragama bagi setiap pemeluknya. Kesadaran beragama itu tidak saja mewujud dalam kepekaan moral, melainkan juga dalam kepekaan sosial, sehingga dengan demikian tidak membuat fanatisme dan eksklusivisme,melainkan menumbuhkan toleransi sosial dan sikap terbuka.
2. Negara menjamin kebebasan beragama dan bahkan berusaha membantu pengembangan kehidupan beragama dalam rangka pembangunan. Masing-masing umat beragama memperoleh kesempatan seluas-luasnya untuk menjalankan dan mengembangkan kehidupan agama mereka   

2.4 Sikap yang harus dikembangkan agar nilai-nilai dalam Sila Pertama tetap terwujud
            Ada beberapa sikap yang bisa dikembangkan agar nilai-nilai yang terkandung dalam sila pertama tetap terwujud yaitu:
1.      Saling menghormati antar umat beragama.
Sikap saling hormat menghormati dan bekerjasama antara pemeluk agama dan penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda merupakan suatu hal yang harus dilakukan. Sesuai dengan UUD 1945, dalam kehidupan bermasyarakat harus ada sikap saling menghormati kebebasan menjalankan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaanya, sehingga terbina kerukunan hidup yang toleran tanpa adanya sikap arogansi dari salah satu penganut agama.

2.      Mempelajari sejarah pancasila dan memperkenalkan sejarah sejak dini.
Salah seorang budayawan Indonesia yaitu Sujiwo Tejo mengatakan bahwa “untuk memajukan bangsa ini kita harus melihat kebelakang, karena masa depan bangsa Indonesia ada dibelakang”. Maksudnya kita harus menengok kembali sejarah berdirinya bangsa Indonesia. Sila pertama dalam pancasila sejak awal perumusannya memang sudah menemui kendala dibandingkan sila-sila lainnya yaitu mengenai pernyataan menjalankan syariat islam. Dengan kita mengetahui sejarah dirumuskannya pancasila, maka pemikiran untuk memunculkan kembali masalah-masalah intoleransi yang berujung pada demo dan kekerasan tidak akan terjadi.

3.      Menjalankan perintah agama sesuai ajaran yang dianut masing-masing.
Dalam menjalankan perintah agama harus  sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Selain larangan hokum untuk mengintervensi agama lain, di dalam ajaran agama pun pasti ada larangan yang harus dipatuhi pada setiap pemeluknya untuk menjalankan ibadah sesuai ajaran agamanya sendiri tanpa harus mencampuri ajaran agama lain. Seperti dalam agama islam yaitu dalam Al Quran surat al kafirun ayat 6 yang artinya bagimu agamamu bagiku agamaku. Dalam ayat tersebut sangat jelas untuk menjalankan ibadah sesuai ajaran masing-masing.

4.      Membina kerjasama dan tolong menolong antar umat ber-agama.
Dalam membina kerukunan beragama tidak hanya terfokus pada menjalankan ibadah sesuai ajaran masing-masing, namun pada kehidupan bermasyarakat pasti ada interaksi sosial. Jadi saling tolong menolong dan kerjasama antar umat beragama akan berdampak timbulnya kerukunan antar agama

5.      Menghilangkan rasa fanatik dan egois dalam beragama.
Rasa fanatik dan egois harus dihilangkan karena dari rasa tersebut akan menimbulkan kesombongan dan merasa ajaran agamanya saja yang harus dijalankan  sehingga memaksa semua orang untuk mematuhi aturan yang diajarkan oleh salah satu agama.

6.      Lebih memperdalam pemahaman tentang agama dan pancasila.
Kurangnya pemahaman akan agama dan nilai-nilai pancasila membuat sebagian orang menjadi intoleran terhadap agama lain walaupun niatya untuk mengkritisi suatu hal yang berhubungan dengan toleransi beragama bahkan menghapus pancasila dari Indonesia. Tanpa dipahami dari beberapa orang tersebut, sebenarnya nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila juga sesuai dengan ajaran semua agama yang menyeru untuk kebaikan. Maka dari itu, sejak dini seseorang harus diberi ilmu agama dan pengetahuan nilai pancasila agar tercipta manusia cerdas dan bermoral.

7.      Menindak tegas ajaran atau aliran baru.
Peran pemerintah dalam mengembangkan nilai pada sila pertama bisa dengan mencegah aliran ataupun agama-agama baru yang bisa memecah belah umat agama lain. Tindak lanjutnya bisa dengan menyaring setiap aliran dan agama yang muncul.



BAB 3. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
            Dari pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa konflik antar agama masih sering terjadi diIndoesia.Misalnya yang terjadi di Poso antar warga yang beragama islam dengan warga yang beragama kristen.Konflik ini sangat disayangkan karena penyebab dari konflik ini hanya masalah kecil yaitu pertengkaran antar individu yang ini berubah menjadi konflik antar umat beragama.Selain itu konflik ini terjadi karena ada kecemburuan dan kesenjangan umat beragama disana.Agar kehidupan umat beragama kembali rukun dan harmonis maka sebagai maka cara yang paling baik dan utama dilakukan adalah bersilaturahmi dengan pemeluk agama lain termasuk dalam menjalankan pelayanan sosial mereka.Selain itu kita haru menghilangkan rasa curiga dengan pemeluk agama lain.Tapi yang lebih penting adalah bertoleransi.Jika dipikir-pikir buat apa kita berkonflik dan mencurigai ini merupakan sesuatu yang tidak ada untungnya bahkan menimbulkan kerugian.Akibat fatal dari adanya konflik antar umat beragama adalah kehancuran persatuan dan kesatuan bangsa indonesia.Yang ini dapat merusak nila-nilai pancasila sila pertama. 

3.2 Saran
            Saran kami untuk permasalahan di atas adalah yang pertama kita harus meningkatkan rasa toleransi kita kepada siapapun entah mereka beragama yang sama dengan kita atau yang berbeda agama.kemudian menghilangkan rasa curiga,cemburu kepada penganut agama lain,Selan itu kita harus menghilangkan rasa fanatik dan egois terhadap penganut agama lain.Untuk lebih mempererat hubungan kita harus saling bersilaturahmi dan saling tolong menolong.Jika keseluruham itu di jalankan maka konflik antar umat beragama tidak akan terjadi lagi,karena konflik yang terjadi terus menerus dan di biarkan maka akan merusak persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.




DAFTAR PUSTAKA

Depag RI. (1980). Pedoman Dasar Kerukunan Hidup Beragama. Jakarta: Depag RI.
Mashudi Noorsalim, Sepuluh Tahun Pasca Konflik Komunal di Poso, http://interseksi.org/publications/essays/articles/sepuluh _tahun_pasca_konflik.html  (diakses sabtu tanggal 25 oktober 2014 pukul 10.02)
Tarmizi Taher. (1997). Aspiring for the Middle Path: Religious Hrmony in Indonesia.
Jakarta: CENSIS.







1 komentar: