KONFLIK ANTAR
UMAT BERAGAMA DI POSO SULAWESI
TENGAH
MAKALAH
Oleh:
SITI MUKHAROMAH 140210301015
PENDIDIKAN
PANCASILA
UPT BIDANG
STUDY MATA KULIAH UMUM (BSMKU)
UNIVERSITAS
JEMBER
2014
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berkat bimbingannya kami mampu menyususn makalah ini.
Makalah yang kami susun ini
merupakan kutipan dari beberapa sumber buku ataupun di internet yang kami
rangkum menjadi sebuah bentuk tulisan yang sistematis, semoga pembaca dapat
memahami bahwa perlunya kita mengetahui permasalahan di masyarakat khususnya “
konflik antar umat beragama” yang dari tahun ke tahun menjadi sorotan di
berbagai media masa.
Akhir kata kami berharap makalah
ini menjadi inspirasi yang baru untuk karya-karya selanjutnya dan dapat
bermanfaat bagi siapa saja yang membutuhkan informasi tentang masalah “konflik
antar umat beragama” mohon maaf bila ada dalam makalah ini terdapat kekurangan,
oleh sebab itu kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca.
Jember, 27 Oktober 2014
Tim penyusun
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR .......................................................................... i
DAFTAR ISI ………………………………………….......................... ii
BAB
I. PENDAHULUAN ........................................................ ........... 1
1.1 Latar
Belakang ...................................................... ........... 1
1.2 Perumusan masalah .............................................. ........... 2
1.3 Tujuan dan
Manfaat.......................................................... 3
BAB II. PEMBAHASAN ........................................................... ........... 4
2.1
Akar permasalahan dan penyebab konflik antar
agama di Poso Sulawesi
Tengah........................................ 4
2.2
Solusi konflik antar agama di Poso Sulawesi
Tengah.................................................................................. 7
2.3
Cara Mencegah Konflik antar Agama.............................. 8
2.4
Sikap yang harus dikembangkan agar nilai-nilai
dalam sila pertama tetap terwujud..................................... 10
BAB
III. PENUTUP ................................................................... ........... 12
3.1
Kesimpulan ............................................................. ........... 12
3.3
Saran ........................................................................ ........... 12
DAFTAR
PUSTAKA
BAB 1.PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Toleransi merupakan
salah satu elemen penting dalam kehidupan beragama, khususnya di Indonesia.
toleransi merupakan suatu kebutuhan terlebih indonesia merupakan negara
pluralis. Tidak hanya memiliki berbagai macam suku,ras,bahasa,tetapi indonesia juga
mempunyai berbagai macam agama. Agama yang diakui di indonesia sebanyak enam
yaitu islam,kristen,khatlik,hindu,budha.dan khong hucu. Dengan agama yang
bermacam-macam ini memberikan andil besar terhadap terjadinya konflik. Banyak
contoh konflik antar agama yang terjadi di Indonesia misalnya konflik di Ambon
Maluku,di Poso Sultra,di situbondo dan masih banyak lagi. Dalam hubungannya
dengan agama, hal itu memberikan kesan yang kuat dan sangat mudah menjadi alat
provokasi dalam menimbulkan ketegangan di antara umat beragama. Ketegangan ini
antara lain disebabkan karena: 1) umat beragama seringkali bersikap untuk
“memonopoli” kebenaran ajaran agamanya sementara, agama lain diberi label tidak
benar. Sikap seperti ini, dapat memicu umat agama lain untuk mengadakan “perang
suci” dalam rangka mempertahankan agamanya; 2) umat beragama seringkali
bersikap konservatif, merasa benar sendiri (dogmatis) sehingga tak ada ruang
untuk melakukan dialog yang kritis dan bersikap toleran terhadap agama lain.
Dengan
berbagai macam agama yang terdapat di Indonesia pada saat perumusan pancasila
masalah keanekaragaman agama di indonesia mendapat sorotan serius hingga melakukan
pergantian.Pada awalnya menurut Piagam Jakarta (22 Juni 1945) bunyi sila
pertama yaitu Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluknya,namun mengingat masyarakat indonesia terdiri dari berbagai macam
agama maka bunyi sila yang pertama di ganti dengan Ketuhanan Yang Maha Esa. Yang
bunyi sila yang pertama ini diharapkan bisa mempersatukan bangsa Indonesia dan
terciptanya kerukunan antar umat beragama.
Selanjutnya
agar pembinaan kehidupan beragama tetap dalam kerangka pembinaan dan
memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa, maka perlu diperhatikan hal-hal
berikut:
1. Peningkatan keimanan dan ketaqwaan
kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam rangka menumbuhkan kesadaran beragama bagi
setiap pemeluknya. Kesadaran beragama itu tidak saja mewujud dalam kepekaan
moral, melainkan juga dalam kepekaan sosial, sehingga dengan demikian tidak
membuat fanatisme dan eksklusivisme, melainkan menumbuhkan toleransi sosial dan
sikap terbuka.
2. Negara menjamin kebebasan beragama
dan bahkan berusaha membantu pengembangan kehidupan beragama dalam rangka
pembangunan. Masing-masing umat beragama memperoleh kesempatan seluas-luasnya
untuk menjalankan dan mengembangkan kehidupan agama mereka.
Selain
kedua hal tersebut toleransi antar umat beragama harus tetap dijalankan agar
tidak terjadi intoleransi yang bisa menimbulkan konflik. Toleransi diartikan
memberikan tempat kepada pendapat yang berbeda. Pada saat bersamaan sikap
menghargai pendapat yang berbeda itu disertai dengan sikap menahan diri atau
sabar. Oleh karena itu, di antara orang yang berbeda pendapat harus
memperlihatkan sikap yang sama, yaitu saling menghargai dengan sikap yang
sabar.Jadi, toleransi dapat diartikan sebagai sikap menenggang, membiarkan, dan
membolehkan, baik berupa pendirian, kepercayaan, dan kelakuan yang
dimiliki seseorang atas yang lainnya.
Toleransi antar umat beragama di Indonesia populer dengan istilah kerukunan
hidup antar umat beragama. Istilah tersebut merupakan istilah resmi yang
dipakai oleh pemerintah. Kerukunan hidup umat beragama merupakan salah satu
tujuan
pembangunan bidang keagamaan di
Indonesia. Gagasan ini muncul terutama dilatarbelakangi oleh meruncingnya
hubungan antar umat beragama.
Dengan
sedikit pernyataan diatas maka isi makalah yang akan kami angkat adalah kami
mengambil salah satu contoh nyata konflik yang ada di indonesia dan akan
menjabarkan akar permasalahannya, penyebab dan solusinya. Selain itu juga
menjelaskan sikap apa yang seharusnya dikembangkan agar nilai-nilai yang
terkandung dalam sila yang pertama tetap terwujud.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka fokus
permasalahan dirumuskan kedalam beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Apa sajakah akar permasalahan dan
penyebab yang mendorong terjadinya konflik antar agama di Poso Sulawesi Tengah
?
2..Apa solusi yang harus dilakukan
untuk mengatasi konflik antar agama tersebut ?
3.Bagaimanakah cara untuk mencegah
terjadinya konflik antar umat beragama ?
4.Sikap apa sajakah
yang harus kita kembangkan agar nilai-nilai yang terkandung dalam sila
pertama tetap terwujud ?
1.3
Tujuan dan Manfaat
1.3.1 Tujuan
Mengacu kepada permasalahan yang
diajukan di atas, maka ada beberapa hal yang menjadi tujuan dalam penelitian
ini. adapun tujuan yang ingin dicapai adalah:
1.Menganalisis apa akar permasahan
dan penyebab terjadinya konflik antar agama di Poso Sulawesi Tengah.
2.Menganalisis apa solusi yang
dilakukan untuk menangani koflik antar agama di Poso Sulawesi Tengah.
3.Mengidentifikasi cara yang
dilakukan untuk mencegah intoleransi dan konflik antar agama.
4.Mengembangkan sikap yang
berdasarkan pada nilai-nilai yang terkandung dalam bunyi sila pertama.
1.3.2
Manfaat
1.Sebagai
pengembangan ilmu pengetahuan yang sejenis.
2.Sebagai
alat pemicu kesadaran masyarakat dalam kehidupan antar agama.
BAB 2.PEMBAHASAN
2.1
Akar Permasalahan dan Penyebab Konflik antar Agama di Poso Sulawesi Tengah
Kerusuhan yang
terjadi di Poso, Sulawesi Tengah ini secara umum merupakan konflik horizontal
antar kelompok masyarakat setempat. Dilihat dari sisi dinamika kelompok (in
group-outgroup), sikap keberpihakan dan identitas keagamaan dari para warga
dan tokoh-tokoh yang terlibat, secara kasat mata terlihat bahwa dalam konflik
kerusuhan Poso melibatkan kelompok muslim (putih) di satu pihak dan kelompok
Kristiani (merah) di pihak yang lain. Namun begitu tidak berarti bahwa secara otomatis
“agama” merupakan faktor utama penyebab konflik. Agama dalam konflik tersebut
lebih banyak berperan sebagai faktor pengiring yang meningkatkan eskalasi
konflik. Identitas keagamaan telah dimananfaatkan sebagai alat yang efektif
untuk mencari dukungan, legitimasi dan memperkuat posisi masing-masing kelompok
yang berkepentingan. Sementara penyebab utamanya diduga kuat adalah
faktor-faktor di luar agama, yakni berbagai kesenjangan di bidang politik,
ekonomi, hukum, tidak efektifnya pemerintahan dan aparat keamanan, serta dampak
suasana globalisasi dan reformasi yang cenderung makin liar dan tak terkendali.
Faktor penyebab
Konflik Poso
Dalam laporan Pemda
Poso tertanggal 7 Agustus 2001 dinyatakan antara lain bahwa kerusuhan Poso
diawali sebuah kasus kriminalitas biasa (perkelahian) antara beberapa oknum
pemuda. Namun dalam waktu singkat berkembang sedemikian rupa menadi isu SARA,
sehingga mengundang konflik massa yang tidak terkendali dan mengakibatkan
timbulnya kerusuhan. Berkembangnya masalah kriminalitas tersebut menjadi isu
SARA tidak berjalan dengan sendirinya, tetapi telah dimananfaatkan dan
direkayasa sedemikian rupa menadi sebuah isu SARA oleh pihak-pihak yang tidak
bertanggung jawab dengan latar belakang kepentingan tertentu. Karena itu
persoalan yang memicu timbulnya kerusuhan bukanlah masalah SARA, tetapi masalah
kriminalitas yang dikemas dalam simbol-simbol SARA.[1][2]
Dari laporan jurnalistis, konflik Poso
disebut sebagai tragedi tiga babak. Kerusuhan pertama berlangsung tanggal 25-30
Desember 1998, yang kedua 15-21 April 2000, sedangkan kerusuhan ketiga tanggal
23 Mei-10 Juni 2001. Rentetan peristiwa kerusuhan Poso menurut paparan
Sinansari Ecip dan Darwin Daru, konflik Poso dimulai dari kerusuhan pertama
pada tanggal 25 Desember 1998 (kebetulan Natal dan bulan puasa) karena
pertikaian dua pemuda yang berbeda agama.Pertikaian itu terus berlanjut hingga
mengundang kelompok massa untuk melakukan aksi yang anarkis.
Konflik individual
ini kemudian melibatkan kelompok pemuda agama (masing-masing perwakilan dari
korban dan pelaku yang berbeda agama) yang berlanjut ke pembakaran toko dan
rumah-rumah warga yang sebelumnya tidak terlibat.Terjadinya konflik dan
perilaku kekerasan dalam masyarakat tergantung dari sumber potensi konflik yang
ada. Ada beberapa faktor yang dapat memicu terjadinya konflik, selain agama,
yaitu ketidakadilan ekonomi, ketidakstabilan politik, serta ketimpangan sosial.
Meskipun konflik Poso mengatasnamakan ‘agama’ sebagai penyebab konfliknya,
namun harus dilihat terlebih dahulu apakah benar agama sebagai faktor dibalik
konflik tersebut. Untuk itulah, dibutuhkan pemahaman terlebih dahulu mengenai
kondisi masyarakat Poso yang menjadi poin terjadinya konflik.
a. Faktor Politik
Meskipun pemicu
awal munculnya konflik di Poso ini adalah karena pertikaian pemuda namun
sebenarnya terdapat muatan politik berkaitan dengan suksesi bupati.
Ketidakpuasan politik inilah yang menjadi akar permasalah konflik. Pada 1998,
ketika mantan Bupati Poso Arief Patanga akan mengakhiri masa kepemimpinannya,
terlihat sinyalemen terjadinya gesekan di tingkat politisi partai yang
menginginkan perubahan kepemimpinan. Pergesekan antara politisi partai akhirnya
merambah hingga ke tingkat akar rumput. Akhirnya muncullah kelompok-kelompok di
masyarakat yang berlawanan haluan dengan kebijakan politisi partai.
Terendusnya praktik
korupsi yang dilakukan oleh kroni-kroni Bupati Arief Patanga membuat yang
bersangkutan berupaya mengalihkan isu. Korupsi Korupsi bermula dari pemberian
dana kredit usaha tani (KUT) sebesar Rp 5 miliar pada 1998 oleh pemerintah
pusat. Saat ada upaya pengungkapan kasus korupsi itu, orang-orang yang terlibat
korupsi menggalang massa untuk melakukan aksi untuk mengalihkan isu korupsi
yang berkembang. Bahkan ada selebaran yang berisi penyerangan tokoh Kristen
yang sengaja diedarkan ke masyarakat. Hal itu kemudian semakin memperuncing
konflik masyarakat yang beragama Islam dan Kristen.
Kekerasan yang
terjadi tersebut tidak mendapat respons yang memadai dari aparat keamanan.
Kegiatan itu terlihat dibiarkan sehingga terus terjadi dan meluas. Karena
pembiaran oleh aparat, eskalasi kekerasannya meningkat hingga terjadi pembakaran
rumah penduduk, gereja, dan masjid. Bahkan terjadi pembantaian di Pesantren
Walisongo, Sintuwelemba, yang lokasinya di tengah-tengah komunitas Kristen.
b. Faktor Ekonomi
Poso telah dimasuki
pendatang Kristen dan Islam sejak masa pra-kolonial, namun proporsi migrasi
yang signifikan baru terjadi pada masa orde baru. Hal itu terjadi sejak
dibangunnya prasara jalan trans-Sulawesi dan pembangunan berbagai pelabuhan
laut dan udara yang semakin memudahkan perpindahan penduduk. Tanpa disadari
proses pembangunan ekonomi di Poso membawa dampak bagi orang Kristen setempat
yakni proses Islamisasi yang cepat dan kesenjangan ekonomi. Keadaan ini lebih
dipertajam lagi dengan banyaknya angka pengangguran kaum terpelajar karena
sempitnya atau langkanya lapangan konflik yang sesuai dengan pendidikan yang
pernah ditempuh.
Akibat urbanisasi
dan kesenjangan ekonomi, politik dan budaya antara umat beragama ini
menyebabkan perubahan pola-pola hubungan antar umat beragama terutama antara
Muslim dan Kristiani.Pertumbuhan urbanisasi yang cepat akan mengantarkan
masyarakat ke arah modernisasi sering terjadi konflik nilai-nilai tradisional
yang masih kuat dengan nilai-nilai baru yang belum mapan di masyarakat. Konflik
nilai tersebut berpengaruh besar terhadap perilaku masyarakat dan dapat
mendorong masyarakat ke proses desintegrasi,alienasi, disorienttasi,
disorganisasi, segmentasi dan lain sebagainya.
Umat Islam yang
hidup di Poso tidak rela dan tidak senang kalau melihat pemuda-pemuda Kristen
yang minum-minuman keras serta mabuk-mabukan di jalan, apalagi di bulan suci
Ramadhan. Oleh karena itu sasaran pengrusakan atau amuk massa Islam tatkala
gagal mencari pemuda Kristen yang memukul pemuda Islam di masjid adalah Toko
Lima, tempat penjualan minuman keras terbesar di Poso. Peristiwa inilah
merupakan awal mula bentrok fisik antara massa Islam dan Kristen. Peristiwa
hari Jum’at tanggal 26 Desember 1998 inilah yang merupakan pelampiasan emosi
keagamaan antara Islam dan Kristen yang berpangkal pada perbedaan dan
kesenjangan sistem nilai budaya antara komunitas tersebut
Dari pernyataan
diatas dapat dianalisis bahwa konflik yang terjadi di Poso diawali dengan
pertengkaran antar pemuda.Dari pertengkaran antar pemuda tersebut menjadi
meluas takkala kedua orang yang berkonflik berbeda agama yang satu bergam islam
yang satu beragama Kristen.Sebenarnya konflik tersebut hanya sedikit yang
disebabkan oleh perbedaab agama namun karena ada pihak ang mempunyai
kepentingan maka konflik tersebut berubah menjadi konflik antar agama.Konflik
antar kedua agama ini mengakibatkan kerusakan pada beberapa tempai ibadah
seperti gereja dan masjid.Konflik ini terjadi bertepatan pada saat bulan ramadhan
yang tentunya pada bulan tersebut umat muslim sedang menjalankan ibadah
puasa.Namun di lain pihak orang kristen di poso malah bermabuk-mabukan di bulan yang bagi orang
muslim adalah bulan suci.Melihat kejadiaan ini orang-orang muslim di poso marah
dan melampiaskan kemarahannya pada toko yang menjual miras terbesar
diposo.Selain itu konflik yang terjadi di Poso juga disebabkan oleh perbedaan
dan kesenjangan sistem nilai antar
komunitas tersebut dan kerena adanya kecemburuan sosial.Konflik yang terjadi di
Poso juga dimanfaatkan oleh kelompok berkempentingan untuk mengalihkan isu yang
pada saat itu sedang hangat-hangatnya dibicarakan oleh masyarakat yaitu masalah
korupsi yang dilakukan oleh bupati Poso.
2.2
Solusi Konflik antar Agama di Poso
Untuk menyelesaikan
konflik di Poso, telah dilakukan Deklarasi Malino untuk Poso (dikenal pula
sebagai Deklarasi Malino I). Deklarasi itu ditandatangani pada 20 Desember 2001
oleh 24 anggota delegasi kelompok Kristen (merah) dan 25 anggota dari delegasi
kelompok Islam (putih). Terdapat 10 poin dalam kesepakatan tersebut, yakni:
1.
Menghentikan semua
bentuk konflik dan perselisihan.
2.
Menaati semua
bentuk dan upaya penegakan hukum dan mendukung pemberian sanksi hukum bagi
siapa saja yang melanggar.
3.
Meminta aparat
negara bertidak tegas dan adil untuk menjaga keamanan.
4.
Untuk menjaga
terciptanya suasana damai menolak memberlakukan keadaan darurat sipil serta
campur tangan pihak asing.
5.
Menghilangkan
seluruh fitnah dan ketidakjujuran terhadap semua pihak dan menegakkan sikap
saling menghormati dan memaafkan satu sama lain demi terciptanya kerukunan
hidup bersama.
6.
Tanah Poso adalah
bagian integral dari Indonesia. Karena itu, setiap warga negara memiliki hak
untuk hidup, datang dan tinggal secara damai dan menghormati adat istiadat
setempat.
7.
Semua hak-hak dan
kepemilikan harus dikembalikan ke pemiliknya yang sah sebagaimana adanya
sebelum konflik dan perselisihan berlangsung.
8.
Mengembalikan
seluruh pengungsi ke tempat asala masing-masing.
9.
Bersama pemerintah
melakukan rehabilitasi sarana dan prasarana ekonomi secara menyeluruh.
10.
Menjalankan syariat
agama masing-masing dengan cara dan prinsip saling menghormati dan menaati
segala aturan yang telah disetujui baik dalam bentuk UU maupun dalam peraturan
pemerintah.
Setelah Deklarasi
Malino untuk Poso diberlakukan, konflik terbuka antarkelompok di Poso berhasil
dihentikan sementara. Namun dalam perjalannanya, kekerasan di Poso masih kerap
terjadi. Berbagai kasus bermunculan seperti teror, upaya mengadu domba yang
dapat dilihat melalui penembakan-penembakan misterius, pembunuhan, peledakan
bom, bahkan dengan tulisan-tulisan di dinding rumah penduduk yang sifatnya
provokasi. Pada 2002 hingga 2005 telah terjadi setidaknya 10 kali teror bom
yang merenggut puluhan nyawa. Peristiwa tersebut kembali menimbulkan rasa
trauma, saling curiga dan meningkatkan sensitivitas di tingkat masyarakat.
Penyelesaian
konflik di Poso yang dilakukan oleh pemerintah selama ini lebih mengedepankan
pendekatan keamanan daripada komunikasi. Karena itu apa yang diinginkan oleh
pihak-pihak yang bertikai serta akar penyebab konflik tidak pernah tersentuh.
Akhirnya yang terjadi siatuasi keamanan di Poso bersifat fluktuatif. Agar
keamanan di Poso bersifat permanen, perlu dilakukan mediasi kedua pihak yang
bertikai yakni masyarakat beragama Islam dengan yang beragama Kristen, dan
dimediatori oleh pemerintah pusat sebagai pihak yang netral. Selain itu perlu
pendekatan budaya mengingat Poso adalah daerah yang sangat heterogen. Terlebih
sebelumnya, masyarakat Poso baik yang asli maupun pendatang hidup berdampingan
dengan damai dengan mengusung nilai-nilai kearifan lokal.
Agar kehidupan umat
beragama kembali rukun dan harmonis maka sebagai maka cara yang paling baik dan
utama dilakukan adalah bersilaturahmi dengan pemeluk agama lain termasuk dalam
menjalankan pelayanan sosial mereka.Selain itu kita haru menghilangkan rasa
curiga dengan pemeluk agama lain.Tapi yang lebih penting adalah
bertoleransi.Jika dipikir-pikir buat apa kita berkonflik dan mencurigai ini
merupakan sesuatu yang tidak ada untungnya bahkan menimbulkan kerugian.Akibat
fatal dari adanya konflik antar umat beragama adalah kehancuran persatuan dan
kesatuan bangsa indonesia.Yang ini dapat merusak nila-nilai pancasila sila
pertama.
2.3 Cara Mencegah
Konflik antar Agama
Cara mencegah
konflikyang utama dan utama adalah bertoleransi antar umat beragama di
Indonesia populer dengan istilah kerukunan hidup antar umat beragama. Istilah
tersebut merupakan istilah resmi yang dipakai oleh pemerintah. Kerukunan hidup
umat beragama merupakan salah satu tujuan pembangunan bidang keagamaan di
Indonesia. Gagasan ini muncul terutama dilatar belakangi oleh meruncingnya
hubungan antar umat beragama. Adapun sebab musabab timbulnya ketegangan intern
umat beragama, antar umat beragama, dan antara umat beragama dengan pemerintah
dapat bersumber dari berbagai aspek sebagai berikut:
1. Sifat dari masing-masing agama yang
mengandung tugas dakwah atau missi.
2. Kurangnya pengetahuan para pemeluk
agama akan agamanya sendiri dan agama pihak lain.
3. Para pemeluk agama tidak mampu
menahan diri, sehingga kurang menghormati bahkan memandang rendah agama lain.
4. Kaburnya batas antara sikap memegang
teguh keyakinan agama dan toleransi dalam kehidupan masyarakat.
5. Kecurigaan masing-masing akan
kejujuran pihak lain, baik intern umat beragama,antar umat beragama, maupun
antara umat beragama dengan pemerintah.
6. Kurangnya saling pengertian dalam
menghadapi masalah perbedaan pendapat (Depag, 1980: 38).
Secara
universal konflik antar agama bisa dicegah dengan beberapa aspek yaitu:
1. Sikap yang diterjemahkan dalam: a) sikap saling
menahan diri terhadap ajaran,keyakinan dan kebiasaan golongan agama lain yang
berbeda, yang mungkin berlawanan dengan ajaran, keyakinan dan kebiasaan
sendiri; b) sikap saling menghormati hak orang lain untuk menganut dengan
sungguh-sungguh ajaran agamanya; dan c) sikap saling mempercayai atas itikad
baik golongan agama lain.
2. Perbuatan yang diwujudkan dalam: a) usaha untuk
memahami ajaran dan keyakinan agama orang lain; b) usaha untuk mengemukakan
keyakinan agama sendiri dengan sebijaksana mungkin untuk tidak menyinggung
keyakinan agama lain; c) untuk saling membantu dalam kegiatan-kegiatan sosial
untuk mengatasi keterbelakangan bersama; dan d) usaha saling belajar dari
keunggulan dan kelebihan pihak lain sehingga terjadi saling tukar pengalaman
untuk mencapai kemajuan bersama(Tarmizi Taher, 1997: 9).
Selanjutnya agar
pembinaan kehidupan beragama tetap dalam kerangka pembinaan dan memperkokoh
persatuan dan kesatuan bangsa, maka perlu diperhatikan hal-hal berikut:
1. Peningkatan keimanan dan ketaqwaan
kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam rangka menumbuhkan kesadaran beragama bagi
setiap pemeluknya. Kesadaran beragama itu tidak saja mewujud dalam kepekaan
moral, melainkan juga dalam kepekaan sosial, sehingga dengan demikian tidak membuat
fanatisme dan eksklusivisme,melainkan menumbuhkan toleransi sosial dan sikap
terbuka.
2. Negara menjamin kebebasan beragama
dan bahkan berusaha membantu pengembangan kehidupan beragama dalam rangka
pembangunan. Masing-masing umat beragama memperoleh kesempatan seluas-luasnya
untuk menjalankan dan mengembangkan kehidupan agama mereka
2.4
Sikap yang harus dikembangkan agar nilai-nilai dalam Sila Pertama tetap
terwujud
Ada beberapa
sikap yang bisa dikembangkan agar nilai-nilai yang terkandung dalam sila
pertama tetap terwujud yaitu:
1. Saling
menghormati antar umat beragama.
Sikap saling hormat menghormati dan bekerjasama antara pemeluk
agama dan penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda merupakan suatu hal
yang harus dilakukan. Sesuai dengan UUD 1945, dalam kehidupan bermasyarakat
harus ada sikap saling menghormati kebebasan menjalankan menjalankan ibadah
sesuai dengan agama dan kepercayaanya, sehingga terbina kerukunan hidup yang
toleran tanpa adanya sikap arogansi dari salah satu penganut agama.
2. Mempelajari
sejarah pancasila dan memperkenalkan sejarah sejak dini.
Salah seorang budayawan Indonesia yaitu Sujiwo Tejo
mengatakan bahwa “untuk memajukan bangsa ini kita harus melihat kebelakang,
karena masa depan bangsa Indonesia ada dibelakang”. Maksudnya kita harus
menengok kembali sejarah berdirinya bangsa Indonesia. Sila pertama dalam pancasila sejak awal
perumusannya memang sudah menemui kendala dibandingkan sila-sila lainnya yaitu
mengenai pernyataan menjalankan syariat islam. Dengan kita mengetahui sejarah
dirumuskannya pancasila, maka pemikiran untuk memunculkan kembali
masalah-masalah intoleransi yang berujung pada demo dan kekerasan tidak akan
terjadi.
3. Menjalankan
perintah agama sesuai ajaran yang dianut masing-masing.
Dalam menjalankan perintah agama harus sesuai dengan agama dan kepercayaan
masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Selain
larangan hokum untuk mengintervensi agama lain, di dalam ajaran agama pun pasti
ada larangan yang harus dipatuhi pada setiap pemeluknya untuk menjalankan
ibadah sesuai ajaran agamanya sendiri tanpa harus mencampuri ajaran agama lain.
Seperti dalam agama islam yaitu dalam Al Quran surat al kafirun ayat 6 yang
artinya bagimu agamamu bagiku agamaku. Dalam ayat tersebut sangat jelas untuk
menjalankan ibadah sesuai ajaran masing-masing.
4. Membina
kerjasama dan tolong menolong antar umat ber-agama.
Dalam
membina kerukunan beragama tidak hanya terfokus pada menjalankan ibadah sesuai
ajaran masing-masing, namun pada kehidupan bermasyarakat pasti ada interaksi
sosial. Jadi saling tolong menolong dan kerjasama antar umat beragama akan
berdampak timbulnya kerukunan antar agama
5. Menghilangkan
rasa fanatik dan egois dalam beragama.
Rasa
fanatik dan egois harus dihilangkan karena dari rasa tersebut akan menimbulkan
kesombongan dan merasa ajaran agamanya saja yang harus dijalankan sehingga memaksa semua orang untuk mematuhi
aturan yang diajarkan oleh salah satu agama.
6. Lebih
memperdalam pemahaman tentang agama dan pancasila.
Kurangnya
pemahaman akan agama dan nilai-nilai pancasila membuat sebagian orang menjadi
intoleran terhadap agama lain walaupun niatya untuk mengkritisi suatu hal yang
berhubungan dengan toleransi beragama bahkan menghapus pancasila dari
Indonesia. Tanpa dipahami dari beberapa orang tersebut, sebenarnya nilai-nilai
yang terkandung dalam pancasila juga sesuai dengan ajaran semua agama yang
menyeru untuk kebaikan. Maka dari itu, sejak dini seseorang harus diberi ilmu
agama dan pengetahuan nilai pancasila agar tercipta manusia cerdas dan
bermoral.
7. Menindak
tegas ajaran atau aliran baru.
Peran
pemerintah dalam mengembangkan nilai pada sila pertama bisa dengan mencegah
aliran ataupun agama-agama baru yang bisa memecah belah umat agama lain. Tindak
lanjutnya bisa dengan menyaring setiap aliran dan agama yang muncul.
BAB 3. PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Dari
pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa konflik antar agama masih sering
terjadi diIndoesia.Misalnya yang terjadi di Poso antar warga yang beragama
islam dengan warga yang beragama kristen.Konflik ini sangat disayangkan karena
penyebab dari konflik ini hanya masalah kecil yaitu pertengkaran antar individu
yang ini berubah menjadi konflik antar umat beragama.Selain itu konflik ini
terjadi karena ada kecemburuan dan kesenjangan umat beragama disana.Agar kehidupan
umat beragama kembali rukun dan harmonis maka sebagai maka cara yang paling
baik dan utama dilakukan adalah bersilaturahmi dengan pemeluk agama lain
termasuk dalam menjalankan pelayanan sosial mereka.Selain itu kita haru
menghilangkan rasa curiga dengan pemeluk agama lain.Tapi yang lebih penting
adalah bertoleransi.Jika dipikir-pikir buat apa kita berkonflik dan mencurigai
ini merupakan sesuatu yang tidak ada untungnya bahkan menimbulkan
kerugian.Akibat fatal dari adanya konflik antar umat beragama adalah kehancuran
persatuan dan kesatuan bangsa indonesia.Yang ini dapat merusak nila-nilai
pancasila sila pertama.
3.2
Saran
Saran kami untuk
permasalahan di atas adalah yang pertama kita harus meningkatkan rasa toleransi
kita kepada siapapun entah mereka beragama yang sama dengan kita atau yang
berbeda agama.kemudian menghilangkan rasa curiga,cemburu kepada penganut agama
lain,Selan itu kita harus menghilangkan rasa fanatik dan egois terhadap
penganut agama lain.Untuk lebih mempererat hubungan kita harus saling
bersilaturahmi dan saling tolong menolong.Jika keseluruham itu di jalankan maka
konflik antar umat beragama tidak akan terjadi lagi,karena konflik yang terjadi
terus menerus dan di biarkan maka akan merusak persatuan dan kesatuan bangsa
Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Depag RI. (1980). Pedoman Dasar Kerukunan Hidup
Beragama. Jakarta: Depag RI.
http://akupunmenulis.wwordpress.com/2009/07/22/pendekatan-budaya-sebagai-sarana-penyelesaian-konflik--di-poso/
(diakses sabtu 25 oktober 2014 pukul 09.51)
Mashudi Noorsalim, Sepuluh Tahun Pasca Konflik
Komunal di Poso, http://interseksi.org/publications/essays/articles/sepuluh
_tahun_pasca_konflik.html (diakses sabtu tanggal 25
oktober 2014 pukul 10.02)
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/penelitian/Dr.%20Marzuki,%20M.Ag./Dr.%20Marzuki,%20M.Ag_.%20%20Konflik%20antar%20Umat%20Beragama%20di%20Indonesia%20dan%20Alternatif%20Pemecahannya.pdf
( diakses tanggal 25 oktober 2014 pikul 09.56)
Tarmizi Taher. (1997). Aspiring for
the Middle Path: Religious Hrmony in Indonesia.
Jakarta: CENSIS.
numpang ya..buat referensi...
BalasHapus