PEREKONOMIAN
MASYARAKAT WILAYAH TERDAMPAK
LUMPUR LAPINDO
MAKALAH
Diajukan guna memenuhi syarat untuk ujian akir semester
ganjil mata kuliah
bahasa indonesia
Oleh:
SITI MUKHAROMAH
140210301015
PRODI
PENDIDIKAN EKONOMI
JURUSAN
PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
JEMBER
2014
KATA
PENGANTAR
Puji
syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkat bimbingannya kami mampu
menyususn makalah ini.
Makalah
yang kami susun ini merupakan kutipan dari beberapa sumber buku ataupun di internet
yang kami rangkum menjadi sebuah bentuk tulisan yang sistematis, semoga pembaca
dapat memahami bahwa perlunya kita mengetahui permasalahan di masyarakat
khususnya “Perekonomian Masyarakat Wilayah Terdampak Lumpur Lapindo ” yang dari
tahun ke tahun menjadi sorotan di berbagai media masa.
Akhir
kata kami berharap makalah ini menjadi inspirasi yang baru untuk karya-karya
selanjutnya dan dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membutuhkan informasi
tentang masalah ” Perekonomian Masyarakat Wilayah Terdampak Lumpur Lapindo ” mohon maaf bila ada dalam makalah ini terdapat
kekurangan, oleh sebab itu kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca.
Jember, 7
November 2014
Penyusun
i
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR ...................................................................................................... i
DAFTAR ISI …………………………………………....................................................... ii
BAB
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.............................................................................................. 1
1.2 Perumusan Masalah ..................................................................................... 2
1.3 Tujuan dan
Manfaat..................................................................................... 2
BAB II. PEMBAHASAN
2.1
Penyebab Terjadinya Lumpur Lapindo.................................................... 3
2.2
Perekonomian Masyarakat Terdampak Lumpur Lapindo...................... 4
2.3
Dampak Semburan Lumpur Lapindo........................................................ 7
BAB III. PENUTUP
3.1 Kesimpulan ....................................................................................... ........... 9
3.3 Saran .................................................................................................. ........... 10
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Banjir
Lumpur Panas Sidoarjo 2006, merupakan kasus menyemburnya lumpur panas di lokasi
pengeboran PT Lapindo Brantas di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten
Sidoarjo, Jawa Timur, sejak tanggal 29 Mei 2006. Semburan lumpur panas selama
beberapa delapan tahun ini menyebabkan tergenangnya kawasan permukiman,
pertanian, dan perindustrian di tiga kecamatan di sekitarnya, serta
mempengaruhi aktivitas perekonomian di Jawa Timur.
Semburan
lumpur ini membawa dampak yang luar biasa bagi masyarakat sekitar maupun bagi
aktivitas perekonomian di Jawa Timur. Dampak tersebut berupa rusaknya
infrastruktur, seperti mengenanggi desa dan kecamatan, rusaknya rel dan tergenangnya
jalan raya, 600 hektar lahan terendam, sutet yang tidak berfungsi, dan
ditutupnya pabrik-pabrik. Dampak tersebut membuat berubahnya struktur
perekonomian bagi masyarakat yang lahan dan tempat tinggalnya terendam oleh
lumpur Lapindo. Mereka pada saat itu hanya menggantungkan hidup dari dana ganti
rugi oleh pihak Lapindo. Namun dalam pelaksanaannya masyarakat merasakan bahwa
dana yang dialokasikan oleh pihak yang bersangkutan sangat kurang. Keadaan
tersebut berdampak pada perubahan perilaku warga Lapindo.
Oleh
karena itu, dalam penulisan laporan ilmiah ini penulis memberi judul “Perekonomian
pada Masyarakat Wilayah Terdampak Lumpur Lapindo”.
1.2 Rumusan Masalah
Setelah
mengidentifikasi masalah dan melakukan pembatasan masalah, maka rumusan masalah
yang dapat disampaikan adalah
1.) Apa
penyebab terjadinya lumpur lapindo? ;
2.) Bagaimana
perekonomian pada masyarakat wilayah terdampak lumpur lapindo? ;
3.) Bagaimana
dampak dari semburan lumpur lapindo?.
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun
tujuan dari penelitian tersebut antara lain sebagai berikut, yaitu:
1.) Untuk
mengetahui penyebab terjadinya Lumpur Lapindo ;
2.) Untuk
mengetahui struktur perekonomian masyarakat wilayah terdampak lumpur lapindo ;
3.) Untuk
mengetahui dampak semburan Lumpur Lapindo.
1.4 Manfaat Penelitian
1.) Memberi
informasi kepada masyarakat luas mengenai penyebab terjadinya lumpur lapindo ;
2.) Memberi
informasi mengenai hubungan berubahnya struktur perekonomian masyarakat
terdampak lumpur lapindo ;
3.) Memberi
gambaran umum mengenai peristiwa semburan lumpur Lapindo dan dampaknya terhadap
alam, sosial, dan manusia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Penyebab Terjadinya Peristiwa Lumpur Lapindo
Berdasarkan
data-data yang didapatkan perkiraan terjadinya peristiwa semburan lumpur panas Lapindo
adalah sebagai berikut.Saat kedalaman 9297 kaki, akhirnya mata bor
menyentuh batu gamping. Lapindo mengira target formasi Kujung sudah tercapai,
padahal mereka hanya menyentuh formasi Klitik. Batu gamping formasi Klitik
sangat porous (bolong-bolong). Akibatnya
lumpur yang digunakan untuk melawan lumpur formasi Pucangan hilang (masuk ke
lubang di batu gamping formasi Klitik) atau circulation loss sehingga Lapindo
kehilangan/kehabisan lumpur di permukaan.
Akibat
dari habisnya lumpur Lapindo, maka lumpur formasi Pucangan berusaha menerobos
ke luar (terjadi kick). Mata bor berusaha ditarik tetapi terjepit sehingga
dipotong. Sesuai prosedur standard, operasi pemboran dihentikan, perangkap Blow
Out Preventer (BOP) di rig segera ditutup & segera dipompakan lumpur
pemboran berdensitas berat ke dalam sumur dengan tujuan mematikan kick.
Kemungkinan yang terjadi, fluida formasi bertekanan tinggi sudah terlanjur naik
ke atas sampai ke batas antara open-hole dengan selubung di permukaan (surface
casing) 13 3/8 inchi. Di kedalaman tersebut, diperkirakan kondisi geologis
tanah tidak stabil & kemungkinan banyak terdapat rekahan alami (natural
fissures) yang bisa sampai ke permukaan. Karena tidak dapat melanjutkan
perjalanannya terus ke atas melalui lubang sumur disebabkan BOP sudah ditutup,
maka fluida formasi bertekanan tadi akan berusaha mencari jalan lain yang lebih
mudah yaitu melewati rekahan alami tadi & berhasil. Inilah mengapa surface
blowout terjadi di berbagai tempat di sekitar area sumur, bukan di sumur itu
sendiri.
2.2 Perekonomian Masyarakat Terdampak Lumpur
Lapindo
Sebelum
munculnya semburan lumpur pertama kali pada 28 Mei 2006, kehidupan warga di
desa Siring, kecamatan Porong dan sekitarnya aman-damai-tentram. Mayoritas
penduduk di sana adalah warga yang sudah menempati tanah dan rumah peninggalan
orang tua bahkan kakek nenek mereka. Makam leluhur mereka pun tak jauh dari
sana. Tanah kelahiran memang memberikann romantisme yang berbeda dengan tanah
perantauan. Tetangga pun rata-rata adalah orang yang sudah seperti saudara
sendiri karena sudah puluhan tahun hidup berdampingan.
Sebagian besar mereka bekerja sebagai buruh
dari perusahaan-perusahaan di daerah industri sekitarnya, menjadi petani
penggarap lahan sendiri (warisan keluarga) maupun penggarap lahan orang lain,
menjadi guru yang mengajar di sekolah-sekolah sekitar kelurahan dan kecamatan
di situ dan beragam profesi lainnya. Ada juga yang berwirausaha, menjadi
penjahit, membuka toko kelontong, membuka warung makan bahkan sekedar berjualan
nasi pecel di pagi hari yang laris manis diserbu para pekerja yang tak sempat
menyiapkan sarapan di rumah.
Ketika bencana semburan lumpur itu terjadi dan
mulai masuk ke kampung mereka, banyak yang tak sempat menyelamatkan
barang-barang pribadinya. Mereka hanya membawa bekal baju seadanya lalu
mengungsi ke sebuah proyek pasar yang baru selesai pembangunannya, belum
diresmikan dan sedianya akan dijadikan pasar baru di Porong. Berhubung
ada ratusan KK mendadak butuh tempat pengungsian, Bupati Sidoarjo langsung
menjadikan los-los pasar itu sebagai tempat penampungan pengungsi. Berdesakan
4-5 keluarga dalam bilik ukuran beberapa meter persegi saja. Mandi harus antri
berjam-jam karena sarana MCK yang tersedia sangat tidak memadai mengingat
peruntukannya memang bukan untuk tempat pengungsian ribuan warga sekaligus.
Tidur tak leluasa karena bercampur dengan
keluarga lain. Saat tidur, kaki bisa menyentuh kepala orang lain. Sering
terjadi salah paham dan nyaris cekcok antar keluarga. Kaum laki-laki dewasa
bahkan seringkali terpaksa mengalah dan tidak tidur di dalam los melainkan
bergadang di luar demi memberikan tempat bagi wanita dan anak-anak agar bisa
tidur. Keesokan harinya, yang masih bisa bekerja harus tetap bekerja dalam
keadaan mengantuk dan badan sakit semua. Belum lgi pasutri yang rata-rata masih
berusia muda itu terpaksa selama berbulan-bulan menahan hasrat seksual mereka
karena tak ada tempat untuk melaksanakan hubungan suami istri. Jangankan
menyalurkan kebutuhan biologis, sekedar ngobrol berdua istri untuk membicarakan
masalah keluarga saja sulit, tetangga yang hanya berbatas tas atau selimut
pasti mendengar.
Sebagian besar
dari mereka bahkan tak punya lagi mata pencaharian. Buruh-buruh pabrik terpaksa
mendadak jadi pengangguran yang tak diberikan pesangon, sebab pabrik mereka
terendam lumpur dan merugi. Kaum ibu yang semula bisa membantu suami mencari
nafkah dengan berjualan nasi dan lauk pauk untuk sarapan para pekerja, kini tak
lagi bisa berbuat apa-apa. Bahkan makan sehari 3x pun di jatah nasi bungkus. Saat
Ramadhan tiba, sahur dan buka puasa memang disediakan, tapi sungguh tak nyaman
karena harus antri pembagian nasi bungkus. Saya ingat tayangannya di TV saat
itu, nasi bungkus untuk sahur sudah dingin, bahkan terkadang basi, maklum sudah
disiapkan sejak sore/petang harinya. Selain itu mereka mengaku sama sekali tak
nyaman terpaksa buka dan sahur dengan nasi dan lauk keringan. Nasi bungkus tak
memungkinkan mereka menyantap sayuran berkuah. Mereka sebetulnya tak menuntut
banyak, cukuplah sayur asem atau sayur bening, asal ada kuah untuk mendorong
nasi agar bisa lancar masuk ke tenggorokan, maklum, makan sahur biasanya memang
kurang selera.
Sekian bulan mereka memang diberi “jadup”
alias jatah hidup, kalau tak salah Rp. 300.000,- per jiwa per bulan. Kemudian
ada bantuan uang kontrak rumah sebesar Rp. 2 juta per KK per tahun, untuk 2
tahun ke depan. Area yang terendam lumpur makin meluas ke desa-desa dan
kecamatan lain di sekitarnya, jelas pasar baru Porong tak bisa menampung jika
pengungsi yang lama tak segera pindah. Masalahnya, mencari kontrakan rumah
tidaklah mudah untuk begitu banyak keluarga sekaligus. Akhirnya mereka tercerai
berai, beruntung yang masih punya ortu atau mertua bisa menampung, yang tak
punya sanak keluarga, keleleran mencari kontrakan yang sesuai dengan
uang jatah. Di tempat kontrakan baru belum tentu dekat dengan lokasi tempat
kerja atau sekolah anak-anak mereka yang rata-rata masih SD. Yang ingin kembali
buka usaha warung makan atau menjahit, kebanyakan gagal karena mereka sudah
kehilangan kontak dengan pelanggannya dan pelanggan pun sudah pindah entah
kemana.
Janjinya, para korban lumpur itu akan dihitung
nilai asset mereka. Untuk tanah berapa ganti rugi per meter persegi dan untuk
bangunan berapa. Masalahnya, semua penggantian itu kemudian berjudul
“jual-beli”. Jadi seolah-olah PT. Minarak Lapindo Jaya (MLJ) membeli asset
warga yang sudah terendam. Padahal, seharusnya
murni ganti rugi – bila perlu
ganti untung, karena tak ada warga yang menghendaki disuruh pindah
begitu saja – mana ada jual beli saat asset sudah terendam lumpur? Karena akte
perjanjiannya “jual-beli”, maka PT. MLJ mensyaratkan sejumlah dokumen dan
sertifikat yang rata-rata tak dimiliki warga yang tinggal di dusun mereka
secara turun temurun berpuluh-puluh tahun. Suatu keanehan, karena sebelum
terjadi semburan, ketika Lapindo membeli tanah warga untuk dijadikan lokasi
pengeboran, mereka justru sengaja membeli tanpa sertifikat, sehingga harganya
miring.
Selain persyaratan teknis dan administratif,
“jual-beli” itu semula disepakati dibayar 20% di muka dan akan dibayar 80%
setelah 2 tahun, ketika uang kontrak rumah habis. Pada kenyataannya tidak
demikian. Ketika tiba saatnya dibayar yang 80%, tidak dibayar tunai melainkan
dicicil alias diangsur. Nilai angsurannya pun kecil jika dibanding proporsinya
yang 80% dari nilai asset. Kebanyakan diangsur Rp. 15 juta per bulan. Itu pun
tak selamanya angsuran rutin selalu dibayar. Terkadang menunggak beberapa bulan
tak ada angsuran masuk ke rekening korban.
Sampai sekarang, warga yang awal-awal kena
luapan semburan lumpur Lapindo justru ada yang belum selesai proses ganti
ruginya. Mereka adalah korban tahap awal yang disebut sebagai warga dari daerah
“peta terdampak” dimana proses ganti ruginya menjadi tanggung jawab
keluarga Bakrie sebagai pemilik Lapindo.
Yang lebih
sedikit “beruntung” justru warga yang belakangan terkena karena mereka berada
di luar peta terdampak, dimana kemudian disepakati ganti ruginya dibayarkan
oleh negara melalui APBN. Justru kewajiban negara yang menggunakan dana APBN –
yang nota bene juga uang rakyat, dikumpulkan dari pajak rakyat dan seharusnya
untuk kepentingan rakyat banyak – inilah yang sudah lebih dulu lunas.
2.3
Dampak Semburan Lumpur Lapindo
Semburan lumpur
ini membawa dampak yang luar biasa bagi masyarakat sekitar maupun bagi aktivitas
perekonomian di Jawa Timur. Lumpur menggenangi kurang lebih duabelas desa di
tiga kecamatan. Semula hanya menggenangi empat desa dengan ketinggian sekitar 6
meter, yang membuat dievakuasinya warga setempat untuk diungsikan serta
rusaknya areal pertanian. Luapan lumpur ini juga menggenangi sarana pendidikan
dan Markas Koramil Porong. Hingga bulan Agustus 2006, luapan lumpur ini telah
menggenangi sejumlah desa/kelurahan di Kecamatan Porong, Jabon, dan
Tanggulangin, dengan total warga yang dievakuasi sebanyak lebih dari 8.200 jiwa
dan tak 25.000 jiwa mengungsi. Karena tak kurang 10.426 unit rumah terendam
lumpur dan 77 unit rumah ibadah terendam lumpur.
Belum lagi akibat dari warga yang terdampak yang harus
mengungsi dan memulai usaha baru karena ditempat lama sudah mapan dengan
usahanya. Perusahaan-perusahaan yang pindah dan mengalami kerugian besar akibat
lumpur yang sampai sekarang ganti ruginya masih belum jelas, rusaknya ekosistem
lingkungan di wilayah Sidoarjo Timur. Kita tahu Sidoarjo Timur merupakan
kawasan budidaya perikanan dan udang yang merupakan sektor pendorong ekonomi
masyarakat Sidoarjo. Dengan adanya lumpur yang dibuang ke laut dikawatirkan
akan merusak ekosistem kawasan tersebut yang menyebabkan turunnya produksi
perikanan. Sekarang dampak tersebut mulai dikeluhkan oleh petani tambak yaitu
menurunnya kualitas air sungai Porong sebagai air baku utama bagi tambak-tambak
tersebut, berapa besar kerugian petani tambak akibat penurunan hasil panen. Untuk
itu perlu dicarikan solusi bagaimana lumpur Lapindo itu tidak memberikan dampak
yang sedemikian buruk bagi masyarakat Sidoarjo dan sekitarnya. Maka perlu
adanya terobosan-terobosan baru guna mengurangi dampak lumpur tersebut dengan
slogan "Sidoarjo Bangkit". Dengan cara intensifikasi dan
ekstensifikasi usaha perekonomian pada masyarakat Sidoarjo yang terdampak baik
terdampak langsung maupun tidak langsung.
Rumah/tempat
tinggal yang rusak akibat diterjang lumpur dan rusak sebanyak 1.683 unit.
Rinciannya: Tempat tinggal 1.810 (Siring 142, Jatirejo 480, Renokenongo 428,
Kedungbendo 590, Besuki 170), sekolah 18 (7 sekolah negeri), kantor 2 (Kantor
Koramil dan Kelurahan Jatirejo), pabrik 15, masjid dan musala 15 unit. Kerusakan
lingkungan terhadap wilayah yang tergenangi, termasuk areal persawahan. Pihak
Lapindo melalui Imam P. Agustino, Gene-ral Manager PT Lapindo Brantas, mengaku
telah menyisihkan US$ 70 juta (sekitar Rp 665 miliar) untuk dana darurat penanggulangan
lumpur. Akibat amblesnya permukaan tanah di sekitar semburan lumpur, pipa air
milik PDAM Surabaya patah. Meledaknya pipa gas milik Pertamina akibat penurunan
tanah karena tekanan lumpur dan sekitar 2,5 kilometer pipa gas terendam .
Ditutupnya ruas jalan tol Surabaya-Gempol
hingga waktu yang tidak ditentukan, dan mengakibatkan kemacetan di jalur-jalur
alternatif, yaitu melalui Sidoarjo-Mojosari-Porong dan jalur Waru-tol-Porong.Tak
kurang 600 hektar lahan terendam. Sebuah SUTET milik PT PLN dan seluruh
jaringan telepon dan listrik di empat desa serta satu jembatan di Jalan Raya
Porong tak dapat difungsikan. Penutupan ruas jalan tol ini juga menyebabkan
terganggunya jalur transportasi Surabaya-Malang dan Surabaya-Banyuwangi serta
kota-kota lain di bagian timur pulau Jawa
BAB
IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dari banyak pendapat ahli diketahui bahwa bencana
lumpur lapindo ini disebabkan oleh kelalaian yang dilakukan oleh Lapindo
Brantas Inc. Pihak Lapindo Brantas Inc tidak melakukan pemasangan casing sesuai
dengan spesifikasi standar teknis pengeboran, sehingga mengakibatkan terjadinya
blow out atau semburan lumpur.
Bencana lumpur lapindo ini juga memberikan banyak
dampak, tidak hanya pada masyarakat sekitar namun juga pada aktivitas
perekonomian di Jawa Timur. Hal ini dilihat dari banyaknya warga yang
kehilangan tempat tinggal, lapangan pekerjaan, dan sarana pendidikan. Bukan
hanya itu, warga sekitar juga kesulitan untuk mendapatkan air bersih, listrik,
dan jaringan telepon. Selain itu juga masih ada pula pencemaran lingkungan yang
diakibatkan oleh bencana ini. Namun dibalik semua dampak negatif tersebut masih
ada pula dampak positif yang bisa didapat dari terjadinya bencana ini. Dampak
positif itu yaitu pembuatan batu bata dan genteng dari lumpur lapindo serta
pembuatan baterai dengan lumpur lapindo yang telah memenangkan juara juara
kedua dari kompetisi Technopreneurship Pemuda 2012.
Pemerintah dan Lapindo Brantas Inc bekerjasama dalam
melakukan upaya penyelesaian lumpur lapindo ini, tiga tim telah dibentuk untuk
menyelesaikan masalah ini. Lapindo Brantas Inc juga telah melakukan 75%
pembayaran ganti rugi terhadap warga.
4.2 Saran
Adapun
saran-saran yang ingin disampaikan oleh penulis adalah sebagai berikut.
Kepada pemerintah dan pihak yang bertanggung jawab
Kepada pemerintah dan pihak yang bertanggung jawab
1.) status
yang jelas mengenai keberadaan warga yang ganti rugi belum lunas;
2.) Memberikan
ganti rugi yang belum terealisasikan sesuai kesepakatan pihak yang diberikan
ganti rugi dan pemberi ganti rugi;
3.) Menjadikan
semburan lumpur Lapindo sebagai peristiwa yang harus diperhatikan dan jangan
ditetapkan sebagai bencana nasional.
Kepada
masyarakat umum
1.) Memperhatikan
dan meningkatkan kesadaran untuk membantu korban lumpur panas Lapindo;
2.) Turut
mendukung perjuangan warga yang terkena dampak lumpur Lapindo untuk mendapatkan
hak-haknya yang sesuai.
Kepada
warga terdampak lumpur lapindo
1.) Tetap
berusaha untuk mendapatkan hak-hak semestinya yang harus didapatkan;
2.) Tidak
mencari simpati warga dengan cara yang meresahkan warga, seperti memberhentikan
kereta api dan memblokade jalan;
3.) Tidak melakukan tindakan-tindakan yang tidak
sesuai dengan nilai dan norma.
DAFTAR PUSTAKA
Ainun , Emha . 2007 . Banjir Lumpur Banjir Janji . Jakarta :
KompasHamzah.
Anon , 2012 , Kajian Masalah Lingkungan Lumpur Lapindo , dilihat 23 November
2014.
<http :
muhamadherliansyah.blogspot.com/2012/06/kajian-masalah-lingkungan-lumpur.html
Anon , 2012 , Banjir Lumpur Panas Sidoarjo, dilihat 23
November 2014.
< http : //
id.Wikipedia.org/banjir_lumpur_panas_sidoarjo.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar