Rabu, 01 Juli 2015

Kebijakan Tengakerja di Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.   Latar Belakang Masalah
Indonesia memiliki jumlah penduduk sebesar 225 juta jiwa, menjadikan negara ini negara dengan penduduk terpadat ke-4 di dunia. Masalah ketenagakerjaan di Indonesia sekarang ini sudah mencapai kondisi yang cukup memprihatinkan ditandai dengan jumlah penganggur dan setengah penganggur yang besar, pendapatan yang relatif rendah dan kurang merata. Sebuah negara tidak akan pernah bisa lepas dari berbagai permasalahan yang berhubungan dengan warga negaranya. Terlebih pada negara - negara yang memiliki jumlah penduduk yang tinggi seperti Indonesia. Masalah ketenagakerjaan, pengangguran, dan kemiskinan Indonesia sudah menjadi masalah pokok bangsa ini dan membutuhkan penanganan segera supaya tidak semakin membelit dan menghalangi langkah Indonesia untuk menjadi mengara yang lebih maju.
Kondisi pengangguran dan setengah pengangguran yang tinggi merupakan pemborosan sumber daya dan potensi yang ada, menjadi beban keluarga dan masyarakat, sumber utama kemiskinan, dapat mendorong peningkatan keresahan sosial dan kriminal; dan dapat menghambat pembangunan dalam jangka panjang. Permasalahan pengangguran ini merupakan persoalan serius karena dapat menyebabkan tingkat pendapatan Nasional dan tingkat kemakmuran masyarakat tidak mencapai potensi maksimal. Untuk itu perlu adanya upaya untuk menanggulangi masalah ketenagakerjaan yang berkaitan dengan banyaknya jumlah pengangguran.
Tersedianya lapangan/kesempatan kerja baru untuk mengatasi peningkatan pengangguran merupakan salah satu target yang harus dicapai dalam pembangunan ekonomi. Kondisi di negara berkembang pada umumnya memiliki tingkat pengangguran yang jauh lebih tinggi dari angka resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah. Hal ini terjadi karena ukuran sektor informal masih cukup besar sebagai salah satu lapangan nafkah bagi tenaga kerja tidak terdidik. Sektor informal tersebut dianggap sebagai katup pengaman bagi pengangguran.Pasar kerja di Indonesia sebagaimana karakteristik umumnya negara sedang berkembang bersifat dualistik. Lapangan kerja sektor modern (formal) dengan jumlah tenaga kerja yang relatif sedikit dan sektor tradisional (informal) dengan jumlah tenaga kerja yang besar, berjalan secara bersamaan dalam perekonomian. Sektor modern memiliki upah yang lebih tinggi dan kondisi kerja yang lebih baik dibandingkan sektor tradisional. Selain itu, pekerja sektor modern memiliki kesempatan untuk memperoleh keterampilan dan akses terhadap pelatihan sehingga memiliki peluang yang lebih besar untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan mereka. Sebaliknya, pekerja di sektor tradisional melakukan kegiatan yang rendah tingkat produktivitasnya dengan upah rendah. Kesenjangan produktivitas-upah antara sektor modern dan sektor tradisional juga mencerminkan perbedaan tingkat pendidikan. Pekerja sektor modern berpendidikan lebih tinggi dibandingkan pekerja sektor tradisional.
Oleh karenanya, persoalan ketenagakerjaan di Indonesia tidak hanya terkait dengan upaya perluasan kesempatan kerja, tetapi juga mencakup upaya memfasilitasi perpindahan ’surplus tenaga kerja’ keluar dari sektor informal ke sektor modern yang lebih produktif dan memberikan upah yang lebih tinggi. Perpindahan surplus tenaga kerja dari sektor informal ini selain bertujuan meningkatkan hak-hak tenaga kerja juga menjadi tujuan utama dari siklus pembangunan, pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan. Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut secara selaras, maka dalam konteks kebijakan tenaga kerja di Indonesia, perlu dijalin keseimbangan yang tepat antara perlindungan tenaga kerja dan perluasan kesempatan kerja.Dalam Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, terdapat empat kebijakan pokok yang terkait dengan perlindungan tenaga kerja dan perluasan kesempatan kerja yaitu kebijakan upah minimum, ketentuan PHK dan pembayaran uang pesangon, ketentuan yang berkaitan hubungan kerja dan ketentuan yang berkaitan dengan jam kerja.

1.2.   Rumusan Masalah
Berikut beberapa rumusan masalah yang akan kami bahas diantaranya sebagai berikut :
1.      Bagaimana Kebijakan Pengupahan Tenaga Kerja di Indonesia menurut Undang Undang No. 13 Tahun 2003 ?
2.      Bagaimana Ketentuan PHK dan Uang Pesangon menururt Undang Undang No. 13 Tahun 2003 ?
3.      Bagaimana Kebijakan Hubungan Kerja menurut Undang Undang No. 13 Tahun2003 ?
4.      Bagaimana Ketentuan Jam Kerja menurut Undang Undang No. 13 Tahun 2003?

1.3.   Tujuan dan Manfaat
a.       Tujuan
Dilihat dari rumusan masalah di atas berikut tujuan penulisan makalah ini antara lain :
1.      Untuk mengetahui Kebijakan Pengupahan Tenaga Kerja di Indonesia menurutUndangUndang No. 13 Tahun 2003
2.      Untuk mengetahui PHK dan Uang Pesangon menururt Undang Undang No. 13 Tahun 2003
3.      Untuk mengetahui Kebijakan Hubungan Kerja menurut Undang Undang No. 13 Tahun 2003
4.      Untuk mengetahui Ketentuan Jam Kerja menurut Undang Undang No. 13 Tahun 2003

b.      Manfaat
Penulisan makalah ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi seluruh kalangan masyarakat dari siswa, mahasiswa maupun pekerja, yang mana makalah ini membahas tentang apa saja kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah untuk di terapkan pada Negara Indonesia.

BAB II
PEMBAHASAN

Dalam Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, terdapat empat kebijakan pokok yang terkait dengan perlindungan tenaga kerja dan perluasan kesempatan kerja yaitu kebijakan penguupahan, ketentuan PHK dan pembayaran uang pesangon, ketentuan yang berkaitan hubungan kerja dan ketentuan yang berkaitan dengan jam kerja.

2.1.      Kebijakan Pengupahan menurut Undang Undang  No. 13 Tahun 2003
Menurut Pasal 1 ayat 30 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.Namun, dalam menetapkan besarnya upah, pengusaha dilarang membayar lebih rendah dari ketentuan upah minimum yang telah ditetapkan pemerintah setempat (Pasal 90 ayat 1 UU No. 13/ 2003). Apabila pengusaha memperjanjikan pembayaran upah yang lebih rendah dari upah minimum, maka kesepakatan tersebut batal demi hukum (Pasal 91 ayat 2 UU No. 13/2003) Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (Pasal 88 ayat 1 No. 13/2003). Kebijakan pemerintah mengenai pengupahan yang melindungi pekerja/buruh meliputi:
·         upah minimum;
·         upah kerja lembur;
·         upah tidak masuk kerja karena berhalangan;
·         upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya;
·         upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya;
·         bentuk dan cara pembayaran upah
·         denda dan potongan upah;
·         hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah;
·         struktur dan skala pengupahan yang proporsional;
·         upah untuk pembayaran pesangon; dan
·         upah untuk perhitungan pajak penghasilan.
Komponen upah sendiri terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap, maka besarnya upah pokok sedikit-dikitnya 75% dari jumlah upahpokok dan tunjangan tetap (Pasal 94UU No. 13/2003).

Ø  Upah Minimum Propinsi (UMP)
Upah Minimum adalah suatu standar minimum yang digunakan oleh para pengusaha atau pelaku industri untuk memberikan upah kepada pekerja di dalam lingkungan usaha atau kerjanya. Karena pemenuhan kebutuhan yang layak di setiap provinsi berbeda-beda, maka disebut Upah Minimum Provinsi.
Pasal 89 Undang-Undang Nomor 13 menyatakan bahwa penentuan upah minimum diarahkan kepada pemenuhan kebutuhan kehidupan yanglayak. Upah minimum ditentukan oleh Gubernur setelahmempertimbangkan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi yang terdiri dari pihak pengusaha, pemerintah dan serikat buruh/serikat pekerja ditambah perguruan tinggi dan pakar.

Ø  Perbedaan Upah Pokok dan Upah Minimum Provinsi (UMP)
UMP tidak sama dengan upah pokok, melainkan upah secara keseluruhan. Jadi, benar bahwa UMP yang diberikan oleh pengusaha/perusahaan merupakan jumlah keseluruhan upah yang dibawa pulang pekerjanya, atau dikenal dengan istilah take home pay. Total upah yang dibawa pulang (take home pay) pekerja tersebut dapat terdiri dari komponen upah pokok, tunjangan tetap, dan tunjangan tidak tetap.

Ø  PemberianUpah
Pemberian Upah merupakan suatu imbalan/balas jasa dari perusahaan kepada tenaga kerjanya atas prestasi dan jasa yang disumbangkan dalam kegiatan produksi. Upah kerja yang diberikan biasanya tergantung pada:
·         Biaya keperluan hidup minimum pekerja dan keluarganya
·         Peraturan perundang – undangan yang mengikat tentang Upah Minimum Regional (UMR)
·         Kemampuan dan Produktivitas perusahaan
·         Jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi.
·         Perbedaan jenis pekerjaan
Kebijakan komponen gaji/upah ditetapkan oleh masing-masing perusahaan. Yang jelas, gaji tidak boleh lebih rendah dari Upah Minimum Propinsi (UMP) yang ditetapkan pemerintah.

Ø  Perjanjian Kerja Bersama mengatur mengenai penggajian
Besaran upah atau gaji dan cara pembayarannya merupakan salah satu isi dari perjanjian kerja (Pasal 54 ayat 1 huruf e UU No. 13/2003).  Akan tetapi dalam perjanjian kerja, tidak dijabarkan secara detail mengenai sistem penggajian, hal tersebut akan dituangkan lebih lanjut dalam Peraturan Perusahaan (PP) atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB), atau dibuat dalam bentuk struktur dan skala upah menjadi lampiran yang merupakan satu kesatuan dan bagian yang tidak terpisahkan dari PP/PKB. PP dan PKB merupakan kesepakatan tertulis dan hasil perundingan antara pekerja/serikat pekerja dengan pengusaha.
Berdasarkan pasal 14 ayat (3) Permenaker No. 1 Tahun 1999, Peninjauan besarnya upah pekerja dengan masa kerja lebih dari 1 (satu) tahun, dilakukan atas kesepakatan tertulis antara pekerja/serikat pekerja dengan pengusaha. Kesepakatan tertulis tersebut ditempuh dan dilakukan melalui proses perundingan bipartit antara pekerja/serikat pekerja dengan pengusaha di perusahaan yang bersangkutan. Dari perundingan bipartit tersebut kemudian melahirkan kesepakatan, yang selanjutnya kesepakatan tersebut dituangkan secara tertulis Peraturan Perusahaan (PP), atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB). 

Ø  KomponenUpah
Yang termasuk dalam komponen upah berdasarkan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia No. SE-07/MEN/1990 Tahun 1990 tentang Pengelompokan Komponen Upah Dan Pendapatan Non Upah, yaitu:
1.      Upah Pokok: adalah imbalan dasar yang dibayarkan kepada pekerja menurut tingkat atau jenis pekerjaan yang besarnya ditetapkan berdasarkan kesepakatan.
2.      Tunjangan Tetap: adalah suatu pembayaran yang teratur berkaitan dengan pekerjaan yang diberikan secara tetap untuk pekerja dan keluarganya serta dibayarkan dalam satuan waktu yang sama dengan pembayaran upah pokok, seperti Tunjangan Isteri; Tunjangan Anak; Tunjangan Perumahan; Tunjangan Kematian; Tunjangan Daerah dan lain-lain. Tunjangan Makan dan Tunjangan Transport dapat dimasukan dalam komponen tunjangan tetap apabila pemberian tunjangan tersebut tidak dikaitkan dengan kehadiran, dan diterima secara tetap oleh pekerja menurut satuan waktu, harian atau bulanan.
3.      Tunjangan Tidak Tetap adalah suatu pembayaran yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan pekerja, yang diberikan secara tidak tetap untuk pekerja dan keluarganya serta dibayarkan menurut satuan waktu yang tidak sama dengan waktu pembayaran upah pokok, seperti Tunjangan Transport yang didasarkan pada kehadiran, Tunjangan makan dapat dimasukan ke dalam tunjangan tidak tetap apabila tunjangan tersebut diberikan atas dasar kehadiran (pemberian tunjangan bisa dalam bentuk uang atau fasilitas makan).

Ø  Undang – Undang yang mengatur mengenai Tunjangan pekerja
Ada Tunjangan yang diatur ada juga yang tidak. Undang – Undang tidak mengatur mengenai tunjangan tidak tetap (tunjangan makan, transportasi, dll). Kebijakan mengenai tunjangan jenis ini, tergantung perusahaan masing-masing. Untuk Tunjangan Kesejahteraan/Kesehatan, dalam UU no 13 pasal 99 mengatur adanya Jaminan Sosialuntuk para pekerja.
Adapula Tunjangan Hari Raya (THR), pemberian THR Keagamaan bagi pekerja di perusahaan diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.PER.04/MEN/1994 tentang Tunjangan Hari Raya (THR) Keagamaan Bagi Pekerja di Perusahaan. Menurut peraturan tersebut, pengusaha diwajibkan untuk memberi THR Keagamaan kepada pekerja yang telah mempunyai masa kerja 3 (tiga) bulan atau lebih secara terus-menerus. Pekerja yang bermasa kerja 12 bulan secara terus menerus atau lebih, mendapat THR minimal satu bulan gaji. Sedangkan Pekerja/buruh yang bermasa kerja tiga bulan secara terus-menerus tetapi kurang dari 12 bulan, mendapat secara proporsional, yaitu dengan menghitung masa kerja yang sedang berjalan dibagi 12 (dua belas) bulan dikali satu bulan upah.

Ø  TunjanganKeahlian
Tunjangan keahlian merupakan salah satu bentuk tunjangan yang diterimakan kepada pekerja berkenaan dengan posisi, kondisi atau suatu penilaian tertentu, bisa dalam bentuk uang, dan dapat berbentuk natura. Tunjangan tersebut, adalah bagian dari komponen upah disamping upah pokok dan pendapatan non-upah, seperti: fasilitas, bonus dan/atau THR. Tunjangan keahlian diklasifikasikan tunjangan tetap karena dibayarkan secara teratur bersamaan dengan upah pokok sesuai dengan jenjang keahlian dan kompetensi serta profesionalisme seseorang pekerja. Sebab, menurut ketentuan Pasal 18 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU No. 13/2003, seseorang pekerja berhak memperoleh pengakuan kompetensi (sesuai dengan keahlian dan profesionalismenya) yang diperoleh melalui sertifikasi kompetensi kerja atau melalui pengalaman kerja.Dengan demikian, bagi pekerja yang memiliki suatu keahlian atau kompetensi tertentu, disamping berhak atas pengakuan kompetensi sesuai keahliannya, juga dengan sendirinya berhak memperoleh hadiah berupa tunjangan keahlian.

Ø  Besaran dan Tolok Ukur Untuk Menentukan Tunjangan Keahlian
Tidak ada pengaturannya dalam peraturan perundang-undangan. Sepanjang tidak melanggar prinsip-prinsip kebijakan pengupahan, besaran dan tolok ukur penentuan tunjangan (termasuk tunjangan keahlian) merupakan domain para pihak untuk mengaturnya atau memperjanjikan secara sukarela berdasarkan atas azas kebebasan berkontrak dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

Ø  Pendapatan Non-Upah
Berdasarkan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia No. SE-07/MEN/1990 Tahun 1990 tentang Pengelompokan Komponen Upah Dan Pendapatan Non Upah, komponen pendapatan non upah adalah sebagai berikut ini:
1.      Fasilitas: adalah kenikmatan dalam bentuk nyata/natura yang diberikan perusahaan oleh karena hal-hal yang bersifat khusus atau untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja, seperti fasilitas kendaraan (antar jemput pekerja atau lainnya); pemberian makan secara cuma-cuma; sarana ibadah; tempat penitipan bayi; koperasi; kantin dan lain-lain.
2.      Bonus: adalah bukan merupakan bagian dari upah, melainkan pembayaran yang diterima pekerja dari hasil keuntungan perusahaan atau karena pekerja menghasilkan hasil kerja lebih besar dari target produksi yang normal atau karena peningkatan produktivitas; besarnya pembagian bonus diatur berdasarkan kesepakatan.
3.      Tunjangan Hari Raya (THR), Gratifikasi dan Pembagian keuntungan lainnya.
  
Ø  PemotonganGaji yang DapatDilakukan Perusahaan
Upah kotor adalah gaji pokok dan tunjangan tetap yang kita terima sebelum dilakukan pemotongan-pemotongan. Upah bersih yang didapat pekerja tiap bulan biasa kita kenal dengan istilah “take home pay”. Perbedaan antara upah kotor dan upah bersih disebabkan oleh adanyapemotongan-pemotongan gaji, seperti :
1.      Pemotongan Pajak PenghasilanMenurut pasal 4 ayat 1 huruf a UU No.36/2008 tentang Pajak Penghasilan, “Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, termasuk:
Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini.
Jadi, perusahaan wajib melakukan pemotongan pajak penghasilan dari gaji kotor karyawannya. Jumlah pajak penghasilan yang harus dipotong, besarnya tergantung dari :
·         Jumlah penghasilan kotor  karyawan
·         Status perkawinan (single, menikah, jumlah anak)
·         Adanya penghasilan yang tidak boleh dikenakan pajak penghasilan
·         Tarif pajak yang berlaku
2.      Pemotongan Pembayaran Iuran Jaminan Sosial (Asuransi kesehatan, jaminan pensiun, dll)Pemotongan upah pekerja karena suatu pembayaran terhadap negara atas iuran keanggotaan/peserta untuk suatu dana yang menyelenggarakan jaminan sosial dan ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan, maka secara hukum pemotongan tersebut merupakan kewajiban dari pekerja (Pasal 22 ayat 2 PP No. 8 Tahun 1981).
3.      Pemotongan Lainnya

·         Pemotongan upah karena absen tanpa alasan yang jelas
Secara hukum, apabila pekerja tidak bekerja, maka upah tidak dibayar (Pasal 93 ayat 1 UU No.13/2003). Namun, pemotongan upah pekerja yang tidak masuk kerja tidak dapat dilakukan begitu saja, karena berdasarkan Undang-Undang 13 tahun 2003, pekerja dilindungi haknya untuk mendapatkan upah penuh untuk hari atau hari-hari ia tidak masuk bekerja, antara lain dalam hal pekerja tidak masuk kerja karena sakit, menjalani cuti yang merupakan haknya, menikah, menikahkan anaknya, sedang haid bagi pekerja perempuan, atau ada anggota keluarga (orang tua, mertua, keluarga dalam satu rumah) meninggal dunia.

·         Pemotongan upah karena pekerja melakukan pelanggaran
Pemotongan upah mengenai denda atas pelanggaran yang dilakukan pekerja dapat dilakukan apabila hal tersebut diatur secara tegas dalam suatu perjanjian tertulis atau perjanjian perusahaan (Pasal 20 ayat 1 PP No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah)

·         Pemotongan upah karena membayar cicilan
Cicilan ini bisa mencakup berbagai hal seperti membayar cicilan rumah, cicilan mobil, dsb.

Ø  Situasi yang Mengharuskan Perusahaan MembayarkanGaji/Upah
·         Pekerja sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan
·         Pekerja perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnyasehingga tidak dapat melakukan pekerjaan
·         Pekerja tidak masuk bekerja karena menikah, menikahkan,mengkhitankan, membaptiskan anaknya, isteri melahirkan atau keguguran kandungan,suami atau isteri atau anak atau menantu atau orang tua atau mertua atau anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia
·         Pekerja tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang menjalankan kewajiban terhadap negara
·         Pekerja tidak dapat melakukan pekerjaannya karena menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya
·         Pekerja bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha
·         Pekerja melaksanakan hak istirahat/cuti
·         Pekerja melaksanakan tugas serikat pekerja atas persetujuan pengusaha
·         Pekerja melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan

Ø  Prosedur Memperkarakan Masalah Keterlambatan Pembayaran Gaji oleh Perusahaan?
Apabila Anda ingin memperkarakan masalah keterlambatan pembayaran gaji, maka Anda harus menggunakan proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial seperti yang diatur dalam UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Prosedurnya adalah:
1.      Mengadakan perundingan bipartit (antara pekerja dan pengusaha) secara musyawarah untuk mencapai mufakat.
2.      Apabila dalam waktu 30 hari setelah perundingan dimulai tidak tercapai kesepakatan, upaya selanjutnya adalah perundingan tripartit, yaitu dengan melibatkan Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi setempat. Pada tahap ini, anda perlu mengajukan bukti-bukti bahwa perundingan bipartit telah dilaksanakan, namun gagal mencapai kesepakatan.
3.      Apabila perundingan tripartit tetap tidak menghasilkan kesepakatan, maka salah satu pihak dapat mengajukan perselisihan ini kepada Pengadilan Hubungan Industrial.

Ø  SanksiBila Perusahaan Terlambat Memberi Upah
Apabila upah terlambat dibayar, maka mulai dari hari keempat sampai hari kedelapan terhitung dari hari pembayaran upah, perusahaan wajib membayar sanksi keterlambatan yakni sebesar 5% dari gaji untuk tiap hari keterlambatan. Diatas hari kedelapan, sanksi keterlambatan menjadi 1%/hari keterlambatan.Apabila sesudah satu bulan upah masih belum dibayar, maka disamping berkewajiban untuk membayar tambahan upah, perusahaan diwajibkan membayar bunga yang ditetapkan oleh bank untuk kredit perusahaan yang bersangkutan.
  
Ø  Tata Cara PembayaranUpah
Pembayaran upah harus dilakukan dengan alat pembayaran yang sah. Bila pembayaran upah tidak ditentukan dalam perjanjian atau peraturan perusahaan, maka pembayaran upah dilakukan di tempat kerja atau kantor perusahaan.Jangka waktu pembayaran upah secepat-cepatnya bisa dilakukan seminggu sekali atau selambat-lambatnya sebulan sekali, kecuali dalam perjanjian kerja tertulis waktu pembayaran kurang dari satu minggu.
            Apabila upah ditetapkan dalam mata uang asing, maka pembayaran dilakukan berdasarkan kurs resmi pada hari dan tempat pembayaran.



Ø  Denda/Pemotongan Upah Yang Dilakukan Perusahaan Apabila Pekerja Melanggar Peraturan Perusahaan Yang Ada
Dalam pasal 95 UU no 13/2003 tentang Tenaga Kerja, pemerintah mengatur pengenaan denda kepada perusahaan dan/atau pekerja dalam pembayaran upah.Perusahaan dapat mengenakan denda kepada pekerja yang melakukan pelanggaran, sepanjang hal itu diatur dalam secara tegas dalam suatu perjanjian tertulis/peraturan perusahaan. Besarnya denda untuk setiap pelanggaran harus ditentukan dan dinyatakan dalam perjanjian tertulis/peraturan perusahaan.Apabila untuk satu perbuatan sudah dikenakan denda, perusahaan dilarang untuk menuntut ganti rugi terhadap pekerja yang bersangkutan. Ganti rugi dapat diminta oleh perusahaan dari pekerja, apabila terjadi kerusakan barang/kerugian lainnya baik milik perusahaan maupun milik pihak ketiga oleh pekerja karena kelalaian/kesengajaan. Ganti rugi harus diatur terlebih dahulu dalam perjanjian tertulis/peraturan perusahaan dan setiap bulannya tidak boleh lebih dari 50% dari upah
Denda yang dikenakan oleh perusahaan kepada pekerja tidak boleh dipergunakan untuk kepentingan pengusaha atau orang yang berwenang untuk menjatuhkan denda tersebut.

2.2.      Kebijakan PHK dan Pembayaran Uang Pesangon menurut Undang Undang No. 13 Tahun 2003
Pengaturan mengenai PHK dan pembayaran uang pesangon dijelaskan pada Bab XII pada pasal 150 – 172. PHK hanya dapat dilakukan perusahaan atas perundingan dengan serikat pekerja (pasal 151), dan jika dari perundingan tersebut tidak mendapatkan persetujuan maka permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja diajukan secara tertulis kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial disertai alasan yang mendasarinya (pasal 152). Selanjutnya dalam pasal 153-155 dijelaskan alasan-alasan yang diperbolehkannya PHK dan alasan-alasan tidak diperbolehkannya PHK. Aturan PHK yang diberlakukan pada UU ini telah mempersulit dan menimbulkan biaya tinggi bagi perusahaan untuk memberhentikan pekerja karena setiap kasus pengurangan pekerja wajib diajukan kepada pemerintah agar dikeluarkan izinnya. Tidak terdapat kewenangan manajemen dalam memutuskan penerimaan dan pemecatan karyawan.Undang-Undang Ketenagakerjaan hendaknya memberikan kewenangan kepada manajemen dalam memutuskan penerimaan dan pemecatan karyawan, tergantung pada pelaksanaan kontrak, negosiasi bipartit terhadap keadaan yang menyebabkan terjadinya PHK yang tidak adil, dan kerangka hukum yang memungkinkan pekerja dan serikat pekerja naik banding ke lembaga penyelesaian perselisihan industrial. Sekalipun dalam UU Ketenagakerjaan keputusan dilakukannya PHK harus didasarkan pada alasan yang jelas, persetujuan terlebih dahulu untuk melakukan PHK tidak diwajibkan oleh standar ketenagakerjaan internasional dan tidak diatur oleh sebagian besar undang- undang ketenagakerjaan modern. Persetujuan terlebih dahulu hendaknya hanya diwajibkan oleh UU untuk kategori kelompok pekerja tertentu yang rawan pemecatan seperti misalnya pengurus serikat pekerja.
Jika terjadi PHK perusahaan diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima (pasal 156). Dalam pasal tersebut juga dirincikan besarnya uang pesangon/penghargaan tersebut.Pada pasal 158 dinyatakan bahwa pengusaha tidak wajib pemberi kerja membayar uang pesangon atau uang penghargaan masa kerja kepada pekerja yang mengundurkan diri secara sukarela atau dipecat karena pelanggaran berat (misalnya, pencurian atau melakukan kekerasan di tempat kerja). Namun, pengusaha diwajibkan membayar “uang pisah” kepada pekerja yang mengundurkan diri secara sukarela atau dipecat karena pelanggaran berat, yang besarannya ditetapkan melalui proses perundingan bersama.Terkait dengan aturan mengenai uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja, Widianto (2006) mengemukakan UU ini telah menaikkan tingkat uang pesangon sebesar antara 19% sampai 63% bagi pekerja yang masa kerjanya mencapai lima tahun atau lebih. Tingkat uang pesangon yang baru tersebut termasuk tertinggi di kawasan Asia, khususnya untuk pesangon yang diberikan kepada pekerja yang terkena PHK karena pengurangan karyawan.
Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait dengan ketentuan pesangon ini:
1.      Biaya pesangon meningkat pesat dari waktu ke waktu, baik terkait dengan peningkatan besaran uang pesangon maupun melalui kenaikan upah minimum yang tinggi. Peningkatan besarnya uang pesangon meningkatkan insentif bagi pekerja untuk menjadikan dirinya dipecat dengan melakukan pelanggaran ringan pada setiap waktu tertentu.
2.      Diberlakukannya uang pesangon yang tinggi dapat dianggap sebagai pajak di bidang ketenagakerjaan. Karena pemberi kerja harus membayar uang pesangon secara lump sum pada saat pekerja dikeluarkan atau saat terjadi pengurangan karyawan, maka uang pesangon dapat dianggap sebagai pajak atas pemecatan dan penerimaan karyawan baru, yang dapat mengurangi lapangan pekerjaan di sektor modern dalam jangka panjang.
3.      Uang pesangon berkaitan langsung dengan masa kerja pekerja di perusahaan. Hal ini menciptakan distorsi dalam pasar kerja. Misalnya, perusahaan akan cenderung mempertahankan para pekerja yang lebih tua usianya, walaupun mereka kurang produktif dibandingkan yang jauh lebih muda karena biaya yang harus dikeluarkan untuk memecat pekerja yang lebih tua lebih mahal. Dengan cara demikian, struktur uang pesangon saat ini berpotensi menghambat bagi penempatan pekerja usia muda sebagai pekerja.
4.      Mengaitkan uang pesangon dengan masa kerja juga mengurangi insentif pemberi kerja untuk berinvestasi dalam SDM (human capital) terutama jika keahlian yang diperlukan merupakan keahlian khusus. Alasannya adalah bahwa pembayaran uang pesangon mendorong pekerja tersebut untuk berganti pekerjaan dan ini akan merupakan biaya besar bagi perusahaan sehingga dalam jangka panjang perusahaan kehilangan insentif untuk berinvestasi bagi pekerjanya.
5.      Besarnya uang pesangon mendorong timbulnya perselisihan industrial karena kebanyakan perusahaan tidak menyiapkan diri untuk melakukan pembayaran uang pesangon, sehingga pekerja mempunyai inisiatif untuk menunggu dipecat daripada mengundurkan diri secara sukarela walaupun pekerja sudah tidak produktif lagi.

2.3.      Kebijakan Hubungan Kerja menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 2003
Dalam pasal 56 dinyatakan perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu. Selanjutnya, pada pasal 59 dinyatakan perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu : a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya; b. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun; c. pekerjaan yang bersifat musiman; atau d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.
Undang-undang ini juga mengatur berbagai persyaratan penggunaan tenaga kerja dan pemborongan produk dari luar perusahaan. Penggunaan pekerja kontrak, pemborongan pekerjaan produksi dan jasa pada pihak luar (outsourcing), dan perekrutan tenaga kerja melalui agen penempatan tenaga kerja dibatasi hanya untuk beberapa jenis pekerjaan tertentu dan dalam jangka waktu tertentu. Pemborongan pekerjaan produksi dan jasa pada pihak luar hanya diperbolehkan bagi pekerjaan yang bukan pekerjaan utama dari perusahaan. Selanjutnya dalam konteks ini hubungan kerja yang terjadi adalah antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; (pasal 64 – 66)
Tujuan dari ketentuan-ketentuan tersebut adalah untuk memberikan perlindungan kerja di tingkat perusahaan bagi pekerja di sektor modern. Meskipun demikian, bila ketentuan-ketentuan UU tersebut diimplementasikan secara kaku, ketentuan-ketentuan tersebut akan menghambat sebagian angkatan kerja untuk memperoleh kesempatan kerja di sektor modern. Selain itu, pekerja kontrak memiliki kesempatan yang lebih kecil untuk cuti libur yang dibayar, cuti sakit, tidak termasuk dalam program pensiun, dan kurang memperoleh akses untuk pelatihan. Meskipun, pekerja kontrak biasanya terus memperoleh pekerjaan dan pada akhirnya menjadi pekerja tetap, tetapi hal ini jarang terjadi pada pekerja berpendidikan rendah.
Dalam kaitannya dengan lembaga outsourcing, lebih jauh Nugroho (2004), mengemukakan bahwa lembaga outsourcing akan mengaburkan hubungan industrial. Terutama adanya ketidakjelasan status antara lembaga penyalur dengan perusahaan ketika terjadi perselisihan hubungan industrial. Posisi tawar buruh akan menjadi semakin lemah, sedangkan di pihak lain posisi perusahaan dan lembaga penyalur/outsourcing akan semakin kuat. Ini akan menciptakan hubungan yang subordinatif terhadap pekerja

2.4.      Ketentuan jam KerjamenurutUndangUndang No. 13 Tahun 2003
Terkait dengan waktu kerja, pada pasal 76 dinyatakan adanya larangan mempekerjakan pekerja perempuan di bawah 18 tahun dan pekerja perempuan hamil pada malam hari (Pukul 23.00 7.00). Selanjutnya pada pasal 77 dinyatakan kewajiban perusahaan untuk melaksanakan ketentuan waktu kerja 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau b. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja berkewajiban membayar upah lembur, tetapi harus memenuhi syarat:
a.       ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan;
b.      waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1 (satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu (pasal 78).
Aturan mengenai waktu kerja ini, secara eksplisit memberikan keterbatasan perusahaan untuk mempekerjakan pekerja sesuai dengan kebutuhan produksi. Meskipun, misalnya karena kekurangan bahan baku, perusahaan hanya membutuhkan masing-masing pekerja untuk bekerja kurang dari 40 jam seminggu, tetapi perusahaan harus tetap mempekerjakan pekerja dalam batas jam kerja tersebut. Demikian juga misalnya, karena peningkatan permintaan yang mengharuskan perusahaan meningkatkan produksi, perusahaan dibatasi dengan aturan tidak boleh mempekerjakan pekerja lembur lebih dari 3 jam perharinya.


















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Indonesia memiliki jumlah penduduk sebesar 225 juta jiwa, yang menjadikan negara ini negara dengan penduduk terpadat ke-4 di dunia. Masalah ketenagakerjaan di Indonesia sekarang ini sudah mencapai kondisi yang cukup memprihatinkan ditandai dengan jumlah penganggur dan setengah penganggur yang besar, pendapatan yang relatif rendah dan kurang merata.
Dalam Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, terdapat empat kebijakan pokok yang terkait dengan perlindungan tenaga kerja dan perluasan kesempatan kerja yaitu kebijakan upah minimum, ketentuan PHK dan pembayaran uang pesangon, ketentuan yang berkaitan hubungan kerja dan ketentuan yang berkaitan dengan jam kerja.

B.     Saran
Optimalisasi kebijakan pemerintah dalam ketenagakerjaan ini seharusnya menjadi skala prioritas karena ini merupakan kunci dan akar masalah gejolak ketenagakerjaan yang selama ini terjadi di berbagai wilayah. Mudah - mudahan, semuanya bisa terlaksana dengan baik dan sesuai harapan demi terciptanya iklim investasi yang sehat dan pemerataan kesejahteraan bagi pekerja dan juga untuk pengusahanya sendiri.







DAFTAR PUSTAKA



















LAMPIRAN

Upah Minimun Provinsi 2014 & 2015
NO
NAMA PROVINSI
2014
2015
1.
Aceh
Rp 1,750,000
Rp. 1.900.000,-
2.
Sumatera Barat
Rp 1,490,000
Rp. 1.615.000,-
3.
Jambi
Rp 1,502,230
Rp. 1.710.000,-
4.
Sumatera Selatan
Rp 1,825,600
Rp. 1.974.346,-
5.
Bangka Belitung
Rp 1,640,000
Rp. 2.100.000,-
6.
Bengkulu
Rp 1,350,000
Rp. 1.500.000,-
7.
Banten
Rp 1,325,000
Rp. 1.600.000,-
8.
Bali
Rp 1,542,600
Rp. 1.621.172,-
9.
NTB
Rp 1,210,000
Rp. 1.330.000,-
10.
Kalimantan Selatan
Rp 1,620,000
Rp. 1.870.000,-
11.
Kalimantan Tengah
Rp 1,723,970
Rp. 1.896.367,-
12.
Kalimantan Timur
Rp 1,886,315
Rp. 2.026.126,-
13.
Gorontalo
Rp 1,325,000
Rp. 1.600.000,-
14.
Sulawesi Utara
Rp 1,900,000
Rp. 2.150.000,-
15.
Sulawesi Tenggara
Rp 1,400,000
Rp. 1.652.000,-
16.
Sulawesi Tengah
Rp 1,250,000
Rp. 1.500.000,-
17.
Sulawesi Selatan
Rp 1,800,000
Rp. 2.000.000,-
18.
Sulawesi Barat
Rp 1,400,000
Rp. 1.655.500,-
19.
Maluku
Rp 1,415,000
Rp. 1.650.000,-
20.
Riau
Rp1,700,000
Rp. 1.878.000,-
21.
Sumatera Utara
Rp 1,505,000
Rp. 1.625.000,-
22.
Lampung
Rp 1,399,000
Rp. 1.581.000,-
23.
Nusa Tenggara Timur
Rp 1,150,000
Rp. 1.250.000,-
24.
Kalimantan Barat
Rp 1,380,000
Rp. 1.560.000,-
25.
Papua
Rp 1,900,000
Rp. 2.193.000,-
26.
Papua Barat
Rp 1,870,000
Rp. 2.015.000,-
27.
Maluku Utara
Rp 1,440,746
Rp. 1.577.617,-
28.
Kepulauan Riau
Rp 1,665,000
Rp. 1.954.000,-
29.
DKI Jakarta
Rp 2,441,000
Rp. 2.700.000,-

UMK JAWA TIMUR 2015
Keputusan besaran UMK 2015 di Jatim tersebut tertuang dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 72 Tahun 2014.
NO
NAMA KABUPATEN
UMK 2014
1.
Kota Surabaya
Rp 2.710.000
2.
Kab. Gresik
Rp 2.707.500
3.
Kab. Sidoarjo
Rp 2.705.000
4.
Kab. Pasuruan
Rp 2.700.000
5.
Kab. Mojokerto
Rp 2.695.000
6.
Kab. Malang
Rp 1.962.000
7.
Kota Malang
Rp 1.882.250
8.
Kota Batu
Rp 1.817.000
9.
Kab. Jombang
Rp 1.725.000
10.
Kab. Tuban
Rp 1.575.500
11.
Kota Pasuruan
Rp 1.575.000
12.
Kab. Probolinggo
Rp 1.556.800
13.
Kab. Jember
Rp 1.460.500
14.
Kota Mojokerto
Rp 1.437.500
15.
Kota Probolinggo
Rp 1.437.500
16.
Kab. Banyuwangi
Rp 1.426.000
17.
Kab. Lamongan
Rp1.410.000
18..
Kota Kediri
Rp 1.339.750
19.
Kab. Bojonegoro
Rp 1.311.000
20.
Kab. Kediri
Rp 1.305.250
21.
Kab. Lumajang
Rp 1.288.000
22.
Kab. Tulungagung
Rp 1.273.050
23.
Kab. Bondowoso
Rp 1.270.750
24.
Kabupaten Bangkalan
Rp 1.267.300
25.
Kabupaten Nganjuk
Rp 1.265.000
26.
Kabupaten Blitar
Rp 1.260.000
27.
Kabupaten Sumenep
Rp 1.253.500
28.
Kota Madiun
Rp 1.250.000
29.
Kota Blitar
Rp 1.250.000
30.
Kab. Sampang
Rp 1.243.200
31.
Kab. Situbondo
Rp 1.231.650
32.
Kab. Pamekasan
Rp 1.209.900
33.
Kab. Madiun
Rp 1.201.750
34.
Kab. Ngawi
Rp 1.196.000
35.
Kab. Ponorogo
Rp 1.150.000.
36.
Kab. Pacitan
Rp 1.150.000.
37.
Kab. Trenggalek
Rp 1.150.000.
38.
Kab. Magetan
Rp 1.150.000.

UMK JAWA BARAT 2015
UMK 2015 diumumkan Gubernur Jabar Ahmad Heryawan di Bandung pada Jumat, 21 November lalu. UMK di Jabar rata-rata naik 16,18 persen menjadi Rp 1.887.619 per bulan, dari sebelumnya Rp 1.621.961.
Besaran UMK 2015 seluruh kota dan kabupaten di Jabar tersebut tertuang dalam keputusan Gubernur Jabar Nomor 561/Kep.1581-Bangsos/2014 tentang UMK di Provinsi Jawa Barat Tahun 2015.
NO
NAMA KABUPATEN
UMK 2015
1.
Kota Bandung 
Rp 2.310.000
2.
Kota Cimahi 
Rp 2.001.200
3.
Kabupaten Bandung
Rp 2.001.195
4.
Kabupaten Bandung Barat
Rp 2.004.637
5.
Kabupaten Sumedang
Rp 2.001.195
6.
Kabupaten Subang
Rp 1.900.000
7.
Kabupaten Purwakarta
Rp 2.600.000
8.
Kabupaten Karawang
Rp 2.957.450
9.
Kabupaten Bekasi
Rp 2.840.000
10.
Kota Bekasi
Rp 2.954.031
11.
Kota Depok
Rp 2.705.000
12.
Kabupaten Bogor
Rp 2.590.000
13.
Kota Bogor
Rp 2.658.155
14.
Kab Sukabumi
Rp 1.940.000
15.
Kota Sukabumi
Rp 1.572.000
16.
Kab Cianjur
Rp 1.600.000
17.
Kab Garut
Rp 1.250.000
18.
Kab Tasikmalaya
Rp 1.435.000
19.
Kota Tasikmalaya
Rp 1.450.000
20.
Kab Ciamis
Rp 1.131.862
21.
Kota Banjar
Rp 1.168.000
22.
Kab Majalengka
Rp 1.245.000
23.
Kab Cirebon
Rp 1.400.000
24.
Kota Cirebon
Rp 1.415.000
25.
Kab Kuningan
Rp 1.206.000
26.
Kab Indramayu
Rp 1.465.000
27.
Kab Pangandaran
Rp 1.165.000

UMK JAWA TENGAH 2015
Gubernur Jateng Ganjar Pranomo telah menetapkan UMK 2015 untuk 35 kabupaten/kota di Jateng pada 20 November 2014. Rata-rata UMK di Jateng naik 14,96 persen.
UMK tertinggi berada di Kota Semarang, UMK paling rendah di Kabupaten Cilacap wilayah Barat dan Banyumas. Keputusan tersebut tertuang dalam Keputusan Gubernur Jateng No.560/85/2014 teranggal 20 November 2014.
NO
NAMA KABUPATEN
UMK 2015
1.
Kota Semarang
Rp 1.685.000
2.
Kabupaten Demak
Rp 1.535.000
3.
Kabupaten Kendal
Rp 1.383.000
4.
Kabupaten Semarang
Rp 1.419.000
5.
Kota Salatiga
Rp 1.287.000
6.
Kabupaten Grobogan
Rp 1.160.000
7.
Kabupaten Blora
Rp 1.180.000
8.
Kabupaten Kudus
Rp 1.380.000
9.
Kabupaten Jepara
Rp 1.150.000
10.
Kabupaten Pati
Rp 1.176.500
11.
Kabupaten Rembang
Rp 1.120.000
12.
Kabupaten Boyolali
Rp 1.197.800
13.
Kota Surakarta
Rp 1.222.400
14.
Kabupaten Sukoharjo
Rp 1.223.000
15.
Kabupaten Sragen
Rp 1.105.000
16.
Kabupaten Karanganyar
Rp 1.226.000
17.
Kabupaten Wonogiri
Rp 1.101.000
18.
Kabupaten Klaten
Rp 1.170.000
19.
Kota Magelang
Rp 1.211.000
20.
Kabupaten Magelang
Rp 1.255.000
21.
Kabupaten Purworejo
Rp 1.165.000
22.
Kabupaten Temanggung
Rp 1.178.000
23.
Kabupaten Wonosobo
Rp 1.166.000
24.
Kabupaten Kebumen
Rp 1.157.000
25.
Kabupaten Banyumas
Rp 1.100.000
26.
Kabupaten Cilacap:
- Wilayah Kota
- Wilayah Timur
- Wilayah Barat

Rp 1.287.000
Rp 1.200.000
Rp 1.100.000
27.
Kabupaten Banjarnegara
Rp 1.112.500
28.
Kabupaten Purbalingga
Rp 1.101.600
29.
Kabupaten Batang
Rp 1.270.000
30.
Kota Pekalongan
Rp 1.291.000
31.
Kabupaten Pekalongan
Rp 1.271.000
32.
Kabupaten Pemalang
Rp 1.193.400
33.
Kota Tegal
Rp 1.206.000
34.
Kabupaten Tegal
Rp 1.155.000
35.
Kabupaten Brebes
Rp 1.166.550


UMK YOGYAKARTA (DIY) 2015
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X telah menekan Surat Keputusan (SK) Gubernur DIY Nomor 252/Kep/2014 tentang Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) 2015 di DIY.
Berdasarkan SK tersebut, UMK tertinggi berada di Kota Yogyakarta dan UMK terendah di Gunung Kidul.
NO
NAMA KABUPATEN
UMK 2015
1.
Kota Yogyakarta
Rp 1.302.500
2.
Kabupaten Sleman
Rp 1.200.000
3.
Kabupaten Bantul
Rp 1.163.800
4.
Kabupaten Kulon Progo
Rp 1.138.000
5.
Kabupaten Gunung Kidul
Rp 1.108.249


Tidak ada komentar:

Posting Komentar