BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang Masalah
Indonesia memiliki
jumlah penduduk sebesar 225 juta jiwa, menjadikan negara ini negara dengan penduduk terpadat ke-4 di dunia. Masalah
ketenagakerjaan di Indonesia sekarang ini sudah mencapai kondisi yang cukup
memprihatinkan ditandai dengan jumlah penganggur dan setengah penganggur yang
besar, pendapatan yang relatif rendah dan kurang merata. Sebuah negara tidak
akan pernah bisa lepas dari berbagai permasalahan yang berhubungan dengan warga
negaranya. Terlebih pada negara - negara yang memiliki jumlah penduduk yang
tinggi seperti Indonesia. Masalah ketenagakerjaan, pengangguran, dan kemiskinan
Indonesia sudah menjadi masalah pokok bangsa ini dan membutuhkan penanganan
segera supaya tidak semakin membelit dan menghalangi langkah Indonesia untuk
menjadi mengara yang lebih maju.
Kondisi pengangguran dan setengah
pengangguran yang tinggi merupakan pemborosan sumber daya dan potensi yang ada,
menjadi beban keluarga dan masyarakat, sumber utama kemiskinan, dapat mendorong
peningkatan keresahan sosial dan kriminal; dan dapat menghambat pembangunan
dalam jangka panjang. Permasalahan pengangguran ini merupakan persoalan serius
karena dapat menyebabkan tingkat pendapatan Nasional dan tingkat kemakmuran
masyarakat tidak mencapai potensi maksimal. Untuk itu perlu adanya upaya untuk
menanggulangi masalah ketenagakerjaan yang berkaitan dengan banyaknya jumlah
pengangguran.
Tersedianya lapangan/kesempatan
kerja baru untuk mengatasi peningkatan pengangguran merupakan salah satu target yang harus dicapai dalam
pembangunan ekonomi. Kondisi di negara berkembang pada umumnya memiliki tingkat
pengangguran yang jauh lebih tinggi dari angka resmi yang dikeluarkan oleh
pemerintah. Hal ini terjadi karena ukuran sektor informal masih cukup besar
sebagai salah satu lapangan nafkah bagi tenaga kerja tidak terdidik. Sektor
informal tersebut dianggap sebagai katup pengaman bagi pengangguran.Pasar kerja
di Indonesia sebagaimana karakteristik umumnya negara sedang berkembang
bersifat dualistik. Lapangan kerja sektor modern (formal) dengan jumlah tenaga
kerja yang relatif sedikit dan sektor tradisional (informal) dengan jumlah
tenaga kerja yang besar, berjalan secara bersamaan dalam perekonomian. Sektor
modern memiliki upah yang lebih tinggi dan kondisi kerja yang lebih baik
dibandingkan sektor tradisional. Selain itu, pekerja sektor modern memiliki
kesempatan untuk memperoleh keterampilan dan akses terhadap pelatihan sehingga
memiliki peluang yang lebih besar untuk meningkatkan pendapatan dan
kesejahteraan mereka. Sebaliknya, pekerja di sektor tradisional melakukan
kegiatan yang rendah tingkat produktivitasnya dengan upah rendah. Kesenjangan
produktivitas-upah antara sektor modern dan sektor tradisional juga
mencerminkan perbedaan tingkat pendidikan. Pekerja sektor modern berpendidikan
lebih tinggi dibandingkan pekerja sektor tradisional.
Oleh karenanya, persoalan
ketenagakerjaan di Indonesia tidak hanya terkait dengan upaya perluasan
kesempatan kerja, tetapi juga mencakup upaya memfasilitasi perpindahan ’surplus
tenaga kerja’ keluar dari sektor informal ke sektor modern yang lebih produktif
dan memberikan upah yang lebih tinggi. Perpindahan surplus tenaga kerja dari
sektor informal ini selain bertujuan meningkatkan hak-hak tenaga kerja juga
menjadi tujuan utama dari siklus pembangunan, pertumbuhan ekonomi dan
pengurangan kemiskinan. Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut secara selaras,
maka dalam konteks kebijakan tenaga kerja di Indonesia, perlu dijalin
keseimbangan yang tepat antara perlindungan tenaga kerja dan perluasan
kesempatan kerja.Dalam Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
terdapat empat kebijakan pokok yang terkait dengan perlindungan tenaga kerja
dan perluasan kesempatan kerja yaitu kebijakan upah minimum, ketentuan PHK dan
pembayaran uang pesangon, ketentuan yang berkaitan hubungan kerja dan ketentuan
yang berkaitan dengan jam kerja.
1.2.
Rumusan
Masalah
Berikut
beberapa rumusan masalah yang akan kami bahas diantaranya sebagai berikut :
1. Bagaimana Kebijakan Pengupahan Tenaga Kerja di Indonesia menurut Undang Undang No. 13 Tahun
2003 ?
2. Bagaimana Ketentuan PHK dan
Uang
Pesangon
menururt
Undang
Undang No. 13 Tahun
2003 ?
3. Bagaimana Kebijakan Hubungan
Kerja menurut Undang Undang No. 13 Tahun2003 ?
4.
Bagaimana
Ketentuan Jam Kerja
menurut
Undang
Undang No. 13 Tahun 2003?
1.3.
Tujuan
dan Manfaat
a. Tujuan
Dilihat dari
rumusan masalah di atas berikut tujuan penulisan makalah ini antara lain :
1. Untuk
mengetahui Kebijakan
Pengupahan
Tenaga
Kerja di Indonesia
menurutUndangUndang No. 13 Tahun 2003
2. Untuk
mengetahui PHK dan
Uang
Pesangon
menururt
Undang
Undang No. 13 Tahun 2003
3. Untuk
mengetahui Kebijakan
Hubungan
Kerja menurut Undang Undang No. 13 Tahun 2003
4. Untuk
mengetahui Ketentuan Jam Kerja menurut Undang
Undang No. 13 Tahun 2003
b. Manfaat
Penulisan
makalah ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi seluruh kalangan masyarakat dari siswa, mahasiswa
maupun
pekerja, yang mana
makalah
ini
membahas
tentang
apa
saja
kebijakan-kebijakan yang dibuat
oleh
pemerintah
untuk di terapkan
pada Negara Indonesia.
BAB
II
PEMBAHASAN
Dalam Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, terdapat
empat kebijakan pokok yang terkait dengan perlindungan tenaga kerja dan
perluasan kesempatan kerja yaitu kebijakan penguupahan, ketentuan
PHK dan pembayaran uang pesangon, ketentuan yang berkaitan hubungan kerja dan
ketentuan yang berkaitan dengan jam kerja.
2.1.
Kebijakan Pengupahan menurut Undang Undang No. 13 Tahun 2003
Menurut Pasal 1 ayat 30 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Upah adalah
hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai
imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan
dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan
perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas
suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.Namun, dalam
menetapkan besarnya upah, pengusaha dilarang membayar lebih rendah dari
ketentuan upah minimum yang telah ditetapkan pemerintah setempat (Pasal 90 ayat
1 UU No. 13/ 2003). Apabila pengusaha memperjanjikan pembayaran upah yang lebih
rendah dari upah minimum, maka kesepakatan tersebut batal demi hukum (Pasal 91
ayat 2 UU No. 13/2003) Setiap
pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan (Pasal 88 ayat 1 No. 13/2003). Kebijakan pemerintah
mengenai pengupahan yang melindungi pekerja/buruh meliputi:
·
upah minimum;
·
upah kerja lembur;
·
upah tidak masuk kerja karena berhalangan;
·
upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain
di luar pekerjaannya;
·
upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya;
·
bentuk dan cara pembayaran upah
·
denda dan potongan upah;
·
hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah;
·
struktur dan skala pengupahan yang proporsional;
·
upah untuk pembayaran pesangon; dan
·
upah untuk perhitungan pajak penghasilan.
Komponen upah sendiri terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap, maka
besarnya upah pokok sedikit-dikitnya 75% dari jumlah upahpokok dan tunjangan
tetap (Pasal 94UU No. 13/2003).
Ø
Upah Minimum Propinsi (UMP)
Upah Minimum adalah
suatu standar minimum yang digunakan oleh para pengusaha atau pelaku industri
untuk memberikan upah kepada pekerja di dalam lingkungan usaha atau kerjanya.
Karena pemenuhan kebutuhan yang layak di setiap provinsi berbeda-beda, maka
disebut Upah Minimum Provinsi.
Pasal 89 Undang-Undang Nomor 13 menyatakan bahwa penentuan upah minimum
diarahkan kepada pemenuhan kebutuhan kehidupan yanglayak. Upah minimum ditentukan
oleh Gubernur setelahmempertimbangkan rekomendasi dari Dewan Pengupahan
Provinsi yang terdiri dari pihak pengusaha, pemerintah dan serikat
buruh/serikat pekerja ditambah perguruan tinggi dan pakar.
Ø Perbedaan Upah Pokok dan Upah Minimum
Provinsi (UMP)
UMP tidak sama dengan upah pokok, melainkan upah secara keseluruhan. Jadi,
benar bahwa UMP yang diberikan oleh pengusaha/perusahaan
merupakan jumlah keseluruhan upah yang dibawa pulang pekerjanya, atau dikenal
dengan istilah take home pay. Total upah yang dibawa pulang (take
home pay) pekerja tersebut dapat terdiri dari komponen upah pokok,
tunjangan tetap, dan tunjangan tidak tetap.
Ø
PemberianUpah
Pemberian Upah merupakan suatu imbalan/balas jasa dari perusahaan kepada
tenaga kerjanya atas prestasi dan jasa yang disumbangkan dalam kegiatan
produksi. Upah kerja yang diberikan biasanya tergantung pada:
·
Biaya keperluan hidup minimum pekerja dan keluarganya
·
Peraturan perundang – undangan yang mengikat tentang
Upah Minimum Regional (UMR)
·
Kemampuan dan Produktivitas perusahaan
·
Jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi.
·
Perbedaan jenis pekerjaan
Kebijakan komponen gaji/upah ditetapkan oleh masing-masing perusahaan. Yang
jelas, gaji tidak boleh lebih rendah dari Upah Minimum Propinsi (UMP) yang
ditetapkan pemerintah.
Ø Perjanjian
Kerja Bersama mengatur mengenai penggajian
Besaran upah atau gaji dan cara pembayarannya merupakan salah satu isi dari
perjanjian kerja (Pasal 54 ayat 1 huruf e UU No. 13/2003). Akan tetapi dalam
perjanjian kerja, tidak dijabarkan secara detail mengenai sistem penggajian,
hal tersebut akan dituangkan lebih lanjut dalam Peraturan Perusahaan (PP) atau
Perjanjian Kerja Bersama (PKB), atau dibuat dalam bentuk struktur dan skala
upah menjadi lampiran yang merupakan satu kesatuan dan bagian yang tidak
terpisahkan dari PP/PKB. PP dan PKB merupakan kesepakatan tertulis dan hasil
perundingan antara pekerja/serikat pekerja dengan pengusaha.
Berdasarkan pasal 14 ayat (3) Permenaker No. 1 Tahun 1999, Peninjauan
besarnya upah pekerja dengan masa kerja lebih dari 1 (satu) tahun, dilakukan
atas kesepakatan tertulis antara pekerja/serikat pekerja dengan pengusaha.
Kesepakatan tertulis tersebut ditempuh dan dilakukan melalui proses perundingan
bipartit antara pekerja/serikat pekerja dengan pengusaha di perusahaan yang
bersangkutan. Dari perundingan bipartit tersebut kemudian melahirkan
kesepakatan, yang selanjutnya kesepakatan tersebut dituangkan secara tertulis
Peraturan Perusahaan (PP), atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB).
Ø
KomponenUpah
Yang termasuk dalam komponen upah berdasarkan Surat Edaran Menteri Tenaga
Kerja Republik Indonesia No. SE-07/MEN/1990 Tahun 1990 tentang Pengelompokan
Komponen Upah Dan Pendapatan Non Upah, yaitu:
1. Upah Pokok: adalah
imbalan dasar yang dibayarkan kepada pekerja menurut tingkat atau jenis
pekerjaan yang besarnya ditetapkan berdasarkan kesepakatan.
2.
Tunjangan Tetap: adalah suatu pembayaran yang
teratur berkaitan dengan pekerjaan yang diberikan secara tetap untuk pekerja
dan keluarganya serta dibayarkan dalam satuan waktu yang sama dengan pembayaran
upah pokok, seperti Tunjangan Isteri; Tunjangan Anak; Tunjangan Perumahan;
Tunjangan Kematian; Tunjangan Daerah dan lain-lain. Tunjangan Makan dan
Tunjangan Transport dapat dimasukan dalam komponen tunjangan tetap apabila
pemberian tunjangan tersebut tidak dikaitkan dengan kehadiran, dan diterima
secara tetap oleh pekerja menurut satuan waktu, harian atau bulanan.
3.
Tunjangan Tidak Tetap adalah
suatu pembayaran yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan
pekerja, yang diberikan secara tidak tetap untuk pekerja dan keluarganya serta
dibayarkan menurut satuan waktu yang tidak sama dengan waktu pembayaran upah
pokok, seperti Tunjangan Transport yang didasarkan pada kehadiran, Tunjangan
makan dapat dimasukan ke dalam tunjangan tidak tetap apabila tunjangan tersebut
diberikan atas dasar kehadiran (pemberian tunjangan bisa dalam bentuk uang atau
fasilitas makan).
Ø Undang –
Undang yang mengatur mengenai Tunjangan pekerja
Ada Tunjangan yang diatur ada juga yang tidak. Undang – Undang tidak
mengatur mengenai tunjangan tidak tetap (tunjangan makan, transportasi, dll).
Kebijakan mengenai tunjangan jenis ini, tergantung perusahaan masing-masing.
Untuk Tunjangan Kesejahteraan/Kesehatan, dalam UU no 13 pasal 99 mengatur
adanya Jaminan Sosialuntuk para pekerja.
Adapula Tunjangan Hari Raya (THR), pemberian THR Keagamaan bagi pekerja di
perusahaan diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
No.PER.04/MEN/1994 tentang Tunjangan Hari Raya (THR) Keagamaan Bagi Pekerja di
Perusahaan. Menurut peraturan tersebut, pengusaha diwajibkan untuk memberi THR
Keagamaan kepada pekerja yang telah mempunyai masa kerja 3 (tiga) bulan atau
lebih secara terus-menerus. Pekerja yang bermasa kerja 12 bulan secara terus
menerus atau lebih, mendapat THR minimal satu bulan gaji. Sedangkan
Pekerja/buruh yang bermasa kerja tiga bulan secara terus-menerus tetapi kurang
dari 12 bulan, mendapat secara proporsional, yaitu dengan menghitung masa kerja
yang sedang berjalan dibagi 12 (dua belas) bulan dikali satu bulan upah.
Ø TunjanganKeahlian
Tunjangan keahlian merupakan salah satu bentuk tunjangan yang diterimakan
kepada pekerja berkenaan dengan posisi, kondisi atau suatu penilaian tertentu,
bisa dalam bentuk uang, dan dapat berbentuk natura. Tunjangan tersebut, adalah
bagian dari komponen upah disamping upah pokok dan pendapatan non-upah,
seperti: fasilitas, bonus dan/atau THR. Tunjangan keahlian diklasifikasikan
tunjangan tetap karena dibayarkan secara teratur bersamaan dengan upah pokok
sesuai dengan jenjang keahlian dan kompetensi serta profesionalisme seseorang
pekerja. Sebab, menurut ketentuan Pasal 18 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU
No. 13/2003, seseorang pekerja berhak memperoleh pengakuan kompetensi (sesuai
dengan keahlian dan profesionalismenya) yang diperoleh melalui sertifikasi
kompetensi kerja atau melalui pengalaman kerja.Dengan demikian, bagi pekerja
yang memiliki suatu keahlian atau kompetensi tertentu, disamping berhak atas
pengakuan kompetensi sesuai keahliannya, juga dengan sendirinya berhak
memperoleh hadiah berupa tunjangan keahlian.
Ø Besaran dan Tolok Ukur Untuk Menentukan Tunjangan Keahlian
Tidak ada pengaturannya dalam peraturan perundang-undangan. Sepanjang tidak
melanggar prinsip-prinsip kebijakan pengupahan, besaran dan tolok ukur
penentuan tunjangan (termasuk tunjangan keahlian) merupakan domain para pihak
untuk mengaturnya atau memperjanjikan secara sukarela berdasarkan atas azas
kebebasan berkontrak dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama.
Ø Pendapatan Non-Upah
Berdasarkan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia No.
SE-07/MEN/1990 Tahun 1990 tentang Pengelompokan Komponen Upah Dan Pendapatan
Non Upah, komponen pendapatan non upah adalah sebagai berikut ini:
1.
Fasilitas: adalah kenikmatan dalam bentuk
nyata/natura yang diberikan perusahaan oleh karena hal-hal yang bersifat khusus
atau untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja, seperti fasilitas kendaraan
(antar jemput pekerja atau lainnya); pemberian makan secara cuma-cuma; sarana
ibadah; tempat penitipan bayi; koperasi; kantin dan lain-lain.
2.
Bonus: adalah bukan merupakan bagian dari
upah, melainkan pembayaran yang diterima pekerja dari hasil keuntungan
perusahaan atau karena pekerja menghasilkan hasil kerja lebih besar dari target
produksi yang normal atau karena peningkatan produktivitas; besarnya pembagian
bonus diatur berdasarkan kesepakatan.
3.
Tunjangan Hari Raya (THR),
Gratifikasi dan Pembagian keuntungan lainnya.
Ø PemotonganGaji yang DapatDilakukan Perusahaan
Upah kotor
adalah gaji pokok dan tunjangan tetap yang kita terima sebelum dilakukan
pemotongan-pemotongan. Upah bersih yang didapat pekerja tiap bulan biasa kita
kenal dengan istilah “take home pay”. Perbedaan antara upah kotor dan upah
bersih disebabkan oleh adanyapemotongan-pemotongan gaji, seperti :
1.
Pemotongan Pajak PenghasilanMenurut pasal 4 ayat 1
huruf a UU No.36/2008 tentang Pajak Penghasilan, “Yang menjadi objek pajak
adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar
Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib
Pajak yang bersangkutan, termasuk:
Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan
atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan,
honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk
lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini.
Jadi, perusahaan wajib melakukan
pemotongan pajak penghasilan dari gaji kotor karyawannya. Jumlah pajak
penghasilan yang harus dipotong, besarnya tergantung dari :
·
Jumlah penghasilan kotor karyawan
·
Status perkawinan (single, menikah, jumlah anak)
·
Adanya penghasilan yang tidak boleh dikenakan pajak
penghasilan
·
Tarif pajak yang berlaku
2.
Pemotongan Pembayaran Iuran Jaminan Sosial (Asuransi kesehatan,
jaminan pensiun, dll)Pemotongan upah pekerja karena suatu pembayaran terhadap
negara atas iuran keanggotaan/peserta untuk suatu dana yang menyelenggarakan
jaminan sosial dan ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan, maka secara
hukum pemotongan tersebut merupakan kewajiban dari pekerja (Pasal 22 ayat 2 PP
No. 8 Tahun 1981).
3.
Pemotongan Lainnya
·
Pemotongan upah karena absen tanpa alasan yang jelas
Secara hukum, apabila pekerja tidak bekerja, maka upah tidak dibayar (Pasal 93
ayat 1 UU No.13/2003). Namun, pemotongan upah pekerja yang tidak masuk kerja
tidak dapat dilakukan begitu saja, karena berdasarkan Undang-Undang 13 tahun
2003, pekerja dilindungi haknya untuk mendapatkan upah penuh untuk hari atau
hari-hari ia tidak masuk bekerja, antara lain dalam hal pekerja tidak masuk
kerja karena sakit, menjalani cuti yang merupakan haknya, menikah, menikahkan
anaknya, sedang haid bagi pekerja perempuan, atau ada anggota keluarga (orang
tua, mertua, keluarga dalam satu rumah) meninggal dunia.
·
Pemotongan upah karena pekerja melakukan pelanggaran
Pemotongan upah mengenai denda atas pelanggaran yang dilakukan pekerja dapat
dilakukan apabila hal tersebut diatur secara tegas dalam suatu perjanjian
tertulis atau perjanjian perusahaan (Pasal 20 ayat 1 PP No. 8 Tahun 1981 tentang
Perlindungan Upah)
·
Pemotongan upah karena membayar cicilan
Cicilan ini bisa mencakup berbagai hal seperti membayar cicilan rumah, cicilan
mobil, dsb.
Ø Situasi yang Mengharuskan Perusahaan MembayarkanGaji/Upah
·
Pekerja sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan
·
Pekerja perempuan yang sakit pada hari pertama
dan kedua masa haidnyasehingga tidak dapat melakukan pekerjaan
·
Pekerja tidak masuk bekerja karena menikah,
menikahkan,mengkhitankan, membaptiskan anaknya, isteri melahirkan atau
keguguran kandungan,suami atau isteri atau anak atau menantu atau orang tua
atau mertua atau anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia
·
Pekerja tidak dapat melakukan pekerjaannya karena
sedang menjalankan kewajiban terhadap negara
·
Pekerja tidak dapat melakukan pekerjaannya karena
menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya
·
Pekerja bersedia melakukan pekerjaan yang telah
dijanjikan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena kesalahan
sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha
·
Pekerja melaksanakan hak istirahat/cuti
·
Pekerja melaksanakan tugas serikat pekerja atas
persetujuan pengusaha
·
Pekerja melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan
Ø Prosedur Memperkarakan
Masalah Keterlambatan Pembayaran Gaji oleh Perusahaan?
Apabila Anda ingin memperkarakan masalah keterlambatan pembayaran gaji,
maka Anda harus menggunakan proses penyelesaian perselisihan hubungan
industrial seperti yang diatur dalam UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial. Prosedurnya adalah:
1. Mengadakan
perundingan bipartit (antara pekerja dan pengusaha) secara musyawarah untuk
mencapai mufakat.
2. Apabila
dalam waktu 30 hari setelah perundingan dimulai tidak tercapai kesepakatan,
upaya selanjutnya adalah perundingan tripartit, yaitu dengan melibatkan Dinas
Ketenagakerjaan dan Transmigrasi setempat. Pada tahap ini, anda perlu
mengajukan bukti-bukti bahwa perundingan bipartit telah dilaksanakan, namun
gagal mencapai kesepakatan.
3.
Apabila perundingan tripartit tetap tidak menghasilkan
kesepakatan, maka salah satu pihak dapat mengajukan perselisihan ini kepada
Pengadilan Hubungan Industrial.
Ø SanksiBila Perusahaan Terlambat Memberi Upah
Apabila upah terlambat dibayar, maka mulai dari hari keempat sampai hari
kedelapan terhitung dari hari pembayaran upah, perusahaan wajib membayar sanksi
keterlambatan yakni sebesar 5% dari gaji untuk tiap hari keterlambatan. Diatas
hari kedelapan, sanksi keterlambatan menjadi 1%/hari keterlambatan.Apabila
sesudah satu bulan upah masih belum dibayar, maka disamping berkewajiban untuk membayar
tambahan upah, perusahaan diwajibkan membayar bunga yang ditetapkan oleh bank
untuk kredit perusahaan yang bersangkutan.
Ø
Tata Cara
PembayaranUpah
Pembayaran upah harus dilakukan dengan alat pembayaran yang sah. Bila
pembayaran upah tidak ditentukan dalam perjanjian atau peraturan perusahaan,
maka pembayaran upah dilakukan di tempat kerja atau kantor perusahaan.Jangka
waktu pembayaran upah secepat-cepatnya bisa dilakukan seminggu sekali atau
selambat-lambatnya sebulan sekali, kecuali dalam perjanjian kerja tertulis
waktu pembayaran kurang dari satu minggu.
Apabila upah
ditetapkan dalam mata uang asing, maka pembayaran dilakukan berdasarkan kurs
resmi pada hari dan tempat pembayaran.
Ø Denda/Pemotongan
Upah Yang Dilakukan Perusahaan Apabila Pekerja
Melanggar Peraturan Perusahaan Yang Ada
Dalam pasal 95 UU no 13/2003 tentang Tenaga Kerja, pemerintah mengatur
pengenaan denda kepada perusahaan dan/atau pekerja dalam pembayaran
upah.Perusahaan dapat mengenakan denda kepada pekerja yang melakukan
pelanggaran, sepanjang hal itu diatur dalam secara tegas dalam suatu perjanjian
tertulis/peraturan perusahaan. Besarnya denda untuk setiap pelanggaran harus
ditentukan dan dinyatakan dalam perjanjian tertulis/peraturan
perusahaan.Apabila untuk satu perbuatan sudah dikenakan denda, perusahaan
dilarang untuk menuntut ganti rugi terhadap pekerja yang bersangkutan. Ganti
rugi dapat diminta oleh perusahaan dari pekerja, apabila terjadi kerusakan
barang/kerugian lainnya baik milik perusahaan maupun milik pihak ketiga oleh
pekerja karena kelalaian/kesengajaan. Ganti rugi harus diatur terlebih dahulu
dalam perjanjian tertulis/peraturan perusahaan dan setiap bulannya tidak boleh
lebih dari 50% dari upah
Denda yang dikenakan oleh perusahaan kepada pekerja tidak boleh
dipergunakan untuk kepentingan pengusaha atau orang yang berwenang untuk
menjatuhkan denda tersebut.
2.2.
Kebijakan PHK dan Pembayaran Uang Pesangon menurut Undang Undang
No. 13 Tahun 2003
Pengaturan mengenai PHK dan pembayaran uang pesangon dijelaskan pada Bab
XII pada pasal 150 – 172. PHK hanya dapat dilakukan perusahaan atas perundingan
dengan serikat pekerja (pasal 151), dan jika dari perundingan tersebut tidak
mendapatkan persetujuan maka permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja
diajukan secara tertulis kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial disertai alasan yang mendasarinya (pasal 152). Selanjutnya dalam
pasal 153-155 dijelaskan alasan-alasan yang diperbolehkannya PHK dan
alasan-alasan tidak diperbolehkannya PHK. Aturan PHK yang diberlakukan pada UU
ini telah mempersulit dan menimbulkan biaya tinggi bagi perusahaan untuk
memberhentikan pekerja karena setiap kasus pengurangan pekerja wajib diajukan
kepada pemerintah agar dikeluarkan izinnya. Tidak terdapat kewenangan manajemen
dalam memutuskan penerimaan dan pemecatan karyawan.Undang-Undang
Ketenagakerjaan hendaknya memberikan kewenangan kepada manajemen dalam
memutuskan penerimaan dan pemecatan karyawan, tergantung pada pelaksanaan
kontrak, negosiasi bipartit terhadap keadaan yang menyebabkan terjadinya PHK
yang tidak adil, dan kerangka hukum yang memungkinkan pekerja dan serikat
pekerja naik banding ke lembaga penyelesaian perselisihan industrial. Sekalipun
dalam UU Ketenagakerjaan keputusan dilakukannya PHK harus didasarkan pada
alasan yang jelas, persetujuan terlebih dahulu untuk melakukan PHK tidak
diwajibkan oleh standar ketenagakerjaan internasional dan tidak diatur oleh
sebagian besar undang- undang ketenagakerjaan modern. Persetujuan terlebih
dahulu hendaknya hanya diwajibkan oleh UU untuk kategori kelompok pekerja
tertentu yang rawan pemecatan seperti misalnya pengurus serikat pekerja.
Jika terjadi PHK perusahaan diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang
penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima (pasal
156). Dalam pasal tersebut juga dirincikan besarnya uang pesangon/penghargaan
tersebut.Pada pasal 158 dinyatakan bahwa pengusaha tidak wajib pemberi kerja
membayar uang pesangon atau uang penghargaan masa kerja kepada pekerja yang mengundurkan
diri secara sukarela atau dipecat karena pelanggaran berat (misalnya, pencurian
atau melakukan kekerasan di tempat kerja). Namun, pengusaha diwajibkan membayar
“uang pisah” kepada pekerja yang mengundurkan diri secara sukarela atau dipecat
karena pelanggaran berat, yang besarannya ditetapkan melalui proses perundingan
bersama.Terkait dengan aturan mengenai uang pesangon dan uang penghargaan masa
kerja, Widianto (2006) mengemukakan UU ini telah menaikkan tingkat uang
pesangon sebesar antara 19% sampai 63% bagi pekerja yang masa kerjanya mencapai
lima tahun atau lebih. Tingkat uang pesangon yang baru tersebut termasuk
tertinggi di kawasan Asia, khususnya untuk pesangon yang diberikan kepada
pekerja yang terkena PHK karena pengurangan karyawan.
Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait dengan ketentuan
pesangon ini:
1. Biaya
pesangon meningkat pesat dari waktu ke waktu, baik terkait dengan peningkatan
besaran uang pesangon maupun melalui kenaikan upah minimum yang tinggi.
Peningkatan besarnya uang pesangon meningkatkan insentif bagi pekerja untuk
menjadikan dirinya dipecat dengan melakukan pelanggaran ringan pada setiap
waktu tertentu.
2.
Diberlakukannya uang pesangon yang tinggi dapat
dianggap sebagai pajak di bidang ketenagakerjaan. Karena pemberi kerja harus
membayar uang pesangon secara lump sum pada saat pekerja dikeluarkan
atau saat terjadi pengurangan karyawan, maka uang pesangon dapat dianggap
sebagai pajak atas pemecatan dan penerimaan karyawan baru, yang dapat
mengurangi lapangan pekerjaan di sektor modern dalam jangka panjang.
3.
Uang pesangon berkaitan langsung dengan masa kerja
pekerja di perusahaan. Hal ini menciptakan distorsi dalam pasar kerja.
Misalnya, perusahaan akan cenderung mempertahankan para pekerja yang lebih tua
usianya, walaupun mereka kurang produktif dibandingkan yang jauh lebih muda
karena biaya yang harus dikeluarkan untuk memecat pekerja yang lebih tua lebih
mahal. Dengan cara demikian, struktur uang pesangon saat ini berpotensi
menghambat bagi penempatan pekerja usia muda sebagai pekerja.
4.
Mengaitkan uang pesangon dengan masa kerja juga
mengurangi insentif pemberi kerja untuk berinvestasi dalam SDM (human
capital) terutama jika keahlian yang diperlukan merupakan keahlian khusus.
Alasannya adalah bahwa pembayaran uang pesangon mendorong pekerja tersebut
untuk berganti pekerjaan dan ini akan merupakan biaya besar bagi perusahaan
sehingga dalam jangka panjang perusahaan kehilangan insentif untuk berinvestasi
bagi pekerjanya.
5.
Besarnya uang pesangon mendorong timbulnya perselisihan
industrial karena kebanyakan perusahaan tidak menyiapkan diri untuk melakukan
pembayaran uang pesangon, sehingga pekerja mempunyai inisiatif untuk menunggu
dipecat daripada mengundurkan diri secara sukarela walaupun pekerja sudah tidak
produktif lagi.
2.3.
Kebijakan Hubungan Kerja menurut
Undang-Undang
No. 13 Tahun 2003
Dalam pasal 56 dinyatakan perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau
untuk waktu tidak tertentu. Selanjutnya, pada pasal 59 dinyatakan perjanjian
kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang
menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu
tertentu, yaitu : a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara
sifatnya; b. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak
terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun; c. pekerjaan yang bersifat
musiman; atau d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru,
atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan. Perjanjian
kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat
tetap.
Undang-undang ini juga mengatur berbagai persyaratan penggunaan tenaga
kerja dan pemborongan produk dari luar perusahaan. Penggunaan pekerja kontrak,
pemborongan pekerjaan produksi dan jasa pada pihak luar (outsourcing),
dan perekrutan tenaga kerja melalui agen penempatan tenaga kerja dibatasi hanya
untuk beberapa jenis pekerjaan tertentu dan dalam jangka waktu tertentu.
Pemborongan pekerjaan produksi dan jasa pada pihak luar hanya diperbolehkan
bagi pekerjaan yang bukan pekerjaan utama dari perusahaan. Selanjutnya dalam
konteks ini hubungan kerja yang terjadi adalah antara pekerja/buruh dan
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; (pasal 64 – 66)
Tujuan dari ketentuan-ketentuan tersebut adalah untuk memberikan
perlindungan kerja di tingkat perusahaan bagi pekerja di sektor modern.
Meskipun demikian, bila ketentuan-ketentuan UU tersebut diimplementasikan
secara kaku, ketentuan-ketentuan tersebut akan menghambat sebagian angkatan
kerja untuk memperoleh kesempatan kerja di sektor modern. Selain itu, pekerja
kontrak memiliki kesempatan yang lebih kecil untuk cuti libur yang dibayar,
cuti sakit, tidak termasuk dalam program pensiun, dan kurang memperoleh akses
untuk pelatihan. Meskipun, pekerja kontrak biasanya terus memperoleh pekerjaan
dan pada akhirnya menjadi pekerja tetap, tetapi hal ini jarang terjadi pada
pekerja berpendidikan rendah.
Dalam kaitannya dengan lembaga outsourcing, lebih jauh Nugroho (2004),
mengemukakan bahwa lembaga outsourcing akan mengaburkan hubungan industrial.
Terutama adanya ketidakjelasan status antara lembaga penyalur dengan perusahaan
ketika terjadi perselisihan hubungan industrial. Posisi tawar buruh akan
menjadi semakin lemah, sedangkan di pihak lain posisi perusahaan dan lembaga
penyalur/outsourcing akan semakin kuat. Ini akan menciptakan hubungan yang
subordinatif terhadap pekerja
2.4.
Ketentuan jam KerjamenurutUndangUndang No. 13 Tahun 2003
Terkait dengan waktu kerja, pada pasal 76 dinyatakan adanya larangan mempekerjakan
pekerja perempuan di bawah 18 tahun dan pekerja perempuan hamil pada malam hari
(Pukul 23.00 7.00). Selanjutnya pada pasal 77 dinyatakan kewajiban perusahaan
untuk melaksanakan ketentuan waktu kerja 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40
(empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu)
minggu; atau b. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu)
minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja
berkewajiban membayar upah lembur, tetapi harus memenuhi syarat:
a.
ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan;
b.
waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak
3 (tiga) jam dalam 1 (satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu
(pasal 78).
Aturan mengenai waktu kerja ini, secara eksplisit memberikan keterbatasan
perusahaan untuk mempekerjakan pekerja sesuai dengan kebutuhan produksi.
Meskipun, misalnya karena kekurangan bahan baku, perusahaan hanya membutuhkan
masing-masing pekerja untuk bekerja kurang dari 40 jam seminggu, tetapi
perusahaan harus tetap mempekerjakan pekerja dalam batas jam kerja tersebut.
Demikian juga misalnya, karena peningkatan permintaan yang mengharuskan
perusahaan meningkatkan produksi, perusahaan dibatasi dengan aturan tidak boleh
mempekerjakan pekerja lembur lebih dari 3 jam perharinya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Indonesia memiliki
jumlah penduduk sebesar 225 juta jiwa, yang menjadikan negara ini negara dengan penduduk terpadat ke-4 di dunia. Masalah
ketenagakerjaan di Indonesia sekarang ini sudah mencapai kondisi yang cukup
memprihatinkan ditandai dengan jumlah penganggur dan setengah penganggur yang
besar, pendapatan yang relatif rendah dan kurang merata.
Dalam
Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, terdapat empat
kebijakan pokok yang terkait dengan perlindungan tenaga kerja dan perluasan
kesempatan kerja yaitu kebijakan upah minimum, ketentuan PHK dan pembayaran
uang pesangon, ketentuan yang berkaitan hubungan kerja dan ketentuan yang
berkaitan dengan jam kerja.
B.
Saran
Optimalisasi
kebijakan pemerintah dalam ketenagakerjaan
ini seharusnya menjadi skala prioritas karena ini merupakan kunci dan akar
masalah gejolak ketenagakerjaan yang selama ini terjadi di berbagai wilayah.
Mudah - mudahan, semuanya bisa terlaksana dengan baik dan sesuai harapan demi
terciptanya iklim investasi yang sehat dan pemerataan kesejahteraan bagi
pekerja dan juga untuk pengusahanya sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
Upah Minimun Provinsi 2014 & 2015
NO
|
NAMA PROVINSI
|
2014
|
2015
|
1.
|
Aceh
|
Rp 1,750,000
|
Rp. 1.900.000,-
|
2.
|
Sumatera Barat
|
Rp 1,490,000
|
Rp. 1.615.000,-
|
3.
|
Jambi
|
Rp 1,502,230
|
Rp. 1.710.000,-
|
4.
|
Sumatera Selatan
|
Rp 1,825,600
|
Rp. 1.974.346,-
|
5.
|
Bangka Belitung
|
Rp 1,640,000
|
Rp. 2.100.000,-
|
6.
|
Bengkulu
|
Rp 1,350,000
|
Rp. 1.500.000,-
|
7.
|
Banten
|
Rp 1,325,000
|
Rp. 1.600.000,-
|
8.
|
Bali
|
Rp 1,542,600
|
Rp. 1.621.172,-
|
9.
|
NTB
|
Rp 1,210,000
|
Rp. 1.330.000,-
|
10.
|
Kalimantan Selatan
|
Rp 1,620,000
|
Rp. 1.870.000,-
|
11.
|
Kalimantan Tengah
|
Rp 1,723,970
|
Rp. 1.896.367,-
|
12.
|
Kalimantan Timur
|
Rp 1,886,315
|
Rp. 2.026.126,-
|
13.
|
Gorontalo
|
Rp 1,325,000
|
Rp. 1.600.000,-
|
14.
|
Sulawesi Utara
|
Rp 1,900,000
|
Rp. 2.150.000,-
|
15.
|
Sulawesi Tenggara
|
Rp 1,400,000
|
Rp. 1.652.000,-
|
16.
|
Sulawesi Tengah
|
Rp 1,250,000
|
Rp. 1.500.000,-
|
17.
|
Sulawesi Selatan
|
Rp 1,800,000
|
Rp. 2.000.000,-
|
18.
|
Sulawesi Barat
|
Rp 1,400,000
|
Rp. 1.655.500,-
|
19.
|
Maluku
|
Rp 1,415,000
|
Rp. 1.650.000,-
|
20.
|
Riau
|
Rp1,700,000
|
Rp. 1.878.000,-
|
21.
|
Sumatera Utara
|
Rp 1,505,000
|
Rp. 1.625.000,-
|
22.
|
Lampung
|
Rp 1,399,000
|
Rp. 1.581.000,-
|
23.
|
Nusa Tenggara Timur
|
Rp 1,150,000
|
Rp. 1.250.000,-
|
24.
|
Kalimantan Barat
|
Rp 1,380,000
|
Rp. 1.560.000,-
|
25.
|
Papua
|
Rp 1,900,000
|
Rp. 2.193.000,-
|
26.
|
Papua Barat
|
Rp 1,870,000
|
Rp. 2.015.000,-
|
27.
|
Maluku Utara
|
Rp 1,440,746
|
Rp. 1.577.617,-
|
28.
|
Kepulauan Riau
|
Rp 1,665,000
|
Rp. 1.954.000,-
|
29.
|
DKI Jakarta
|
Rp 2,441,000
|
Rp. 2.700.000,-
|
UMK JAWA TIMUR 2015
Keputusan besaran UMK
2015 di Jatim tersebut tertuang dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 72
Tahun 2014.
NO
|
NAMA KABUPATEN
|
UMK 2014
|
1.
|
Kota Surabaya
|
Rp 2.710.000
|
2.
|
Kab. Gresik
|
Rp 2.707.500
|
3.
|
Kab.
Sidoarjo
|
Rp 2.705.000
|
4.
|
Kab.
Pasuruan
|
Rp 2.700.000
|
5.
|
Kab.
Mojokerto
|
Rp 2.695.000
|
6.
|
Kab. Malang
|
Rp 1.962.000
|
7.
|
Kota Malang
|
Rp 1.882.250
|
8.
|
Kota Batu
|
Rp 1.817.000
|
9.
|
Kab.
Jombang
|
Rp 1.725.000
|
10.
|
Kab.
Tuban
|
Rp 1.575.500
|
11.
|
Kota Pasuruan
|
Rp 1.575.000
|
12.
|
Kab. Probolinggo
|
Rp 1.556.800
|
13.
|
Kab.
Jember
|
Rp 1.460.500
|
14.
|
Kota Mojokerto
|
Rp 1.437.500
|
15.
|
Kota Probolinggo
|
Rp 1.437.500
|
16.
|
Kab.
Banyuwangi
|
Rp 1.426.000
|
17.
|
Kab.
Lamongan
|
Rp1.410.000
|
18..
|
Kota Kediri
|
Rp 1.339.750
|
19.
|
Kab.
Bojonegoro
|
Rp 1.311.000
|
20.
|
Kab. Kediri
|
Rp 1.305.250
|
21.
|
Kab.
Lumajang
|
Rp 1.288.000
|
22.
|
Kab.
Tulungagung
|
Rp 1.273.050
|
23.
|
Kab.
Bondowoso
|
Rp 1.270.750
|
24.
|
Kabupaten
Bangkalan
|
Rp 1.267.300
|
25.
|
Kabupaten
Nganjuk
|
Rp 1.265.000
|
26.
|
Kabupaten
Blitar
|
Rp 1.260.000
|
27.
|
Kabupaten
Sumenep
|
Rp 1.253.500
|
28.
|
Kota Madiun
|
Rp 1.250.000
|
29.
|
Kota Blitar
|
Rp 1.250.000
|
30.
|
Kab.
Sampang
|
Rp 1.243.200
|
31.
|
Kab.
Situbondo
|
Rp 1.231.650
|
32.
|
Kab.
Pamekasan
|
Rp 1.209.900
|
33.
|
Kab.
Madiun
|
Rp 1.201.750
|
34.
|
Kab.
Ngawi
|
Rp 1.196.000
|
35.
|
Kab.
Ponorogo
|
Rp 1.150.000.
|
36.
|
Kab.
Pacitan
|
Rp 1.150.000.
|
37.
|
Kab.
Trenggalek
|
Rp 1.150.000.
|
38.
|
Kab.
Magetan
|
Rp 1.150.000.
|
UMK JAWA BARAT 2015
UMK 2015 diumumkan
Gubernur Jabar Ahmad Heryawan di Bandung pada Jumat, 21 November lalu. UMK di
Jabar rata-rata naik 16,18 persen menjadi Rp 1.887.619 per bulan, dari
sebelumnya Rp 1.621.961.
Besaran UMK 2015
seluruh kota dan kabupaten di Jabar tersebut tertuang dalam keputusan Gubernur
Jabar Nomor 561/Kep.1581-Bangsos/2014 tentang UMK di Provinsi Jawa Barat Tahun
2015.
NO
|
NAMA
KABUPATEN
|
UMK 2015
|
1.
|
Kota Bandung
|
Rp 2.310.000
|
2.
|
Kota Cimahi
|
Rp 2.001.200
|
3.
|
Kabupaten Bandung
|
Rp 2.001.195
|
4.
|
Kabupaten Bandung
Barat
|
Rp 2.004.637
|
5.
|
Kabupaten Sumedang
|
Rp 2.001.195
|
6.
|
Kabupaten Subang
|
Rp 1.900.000
|
7.
|
Kabupaten Purwakarta
|
Rp 2.600.000
|
8.
|
Kabupaten Karawang
|
Rp 2.957.450
|
9.
|
Kabupaten Bekasi
|
Rp 2.840.000
|
10.
|
Kota Bekasi
|
Rp 2.954.031
|
11.
|
Kota Depok
|
Rp 2.705.000
|
12.
|
Kabupaten Bogor
|
Rp 2.590.000
|
13.
|
Kota Bogor
|
Rp 2.658.155
|
14.
|
Kab Sukabumi
|
Rp 1.940.000
|
15.
|
Kota Sukabumi
|
Rp 1.572.000
|
16.
|
Kab Cianjur
|
Rp 1.600.000
|
17.
|
Kab Garut
|
Rp 1.250.000
|
18.
|
Kab Tasikmalaya
|
Rp 1.435.000
|
19.
|
Kota Tasikmalaya
|
Rp 1.450.000
|
20.
|
Kab Ciamis
|
Rp 1.131.862
|
21.
|
Kota Banjar
|
Rp 1.168.000
|
22.
|
Kab Majalengka
|
Rp 1.245.000
|
23.
|
Kab Cirebon
|
Rp 1.400.000
|
24.
|
Kota Cirebon
|
Rp 1.415.000
|
25.
|
Kab Kuningan
|
Rp 1.206.000
|
26.
|
Kab Indramayu
|
Rp 1.465.000
|
27.
|
Kab Pangandaran
|
Rp 1.165.000
|
UMK JAWA
TENGAH 2015
Gubernur Jateng Ganjar Pranomo telah menetapkan UMK 2015
untuk 35 kabupaten/kota di Jateng pada 20 November 2014. Rata-rata UMK di
Jateng naik 14,96 persen.
UMK tertinggi berada di Kota Semarang, UMK paling rendah di
Kabupaten Cilacap wilayah Barat dan Banyumas. Keputusan tersebut tertuang dalam
Keputusan Gubernur Jateng No.560/85/2014 teranggal 20 November 2014.
NO
|
NAMA
KABUPATEN
|
UMK 2015
|
1.
|
Kota Semarang
|
Rp 1.685.000
|
2.
|
Kabupaten Demak
|
Rp 1.535.000
|
3.
|
Kabupaten Kendal
|
Rp 1.383.000
|
4.
|
Kabupaten Semarang
|
Rp 1.419.000
|
5.
|
Kota Salatiga
|
Rp 1.287.000
|
6.
|
Kabupaten Grobogan
|
Rp 1.160.000
|
7.
|
Kabupaten Blora
|
Rp 1.180.000
|
8.
|
Kabupaten Kudus
|
Rp 1.380.000
|
9.
|
Kabupaten Jepara
|
Rp 1.150.000
|
10.
|
Kabupaten Pati
|
Rp 1.176.500
|
11.
|
Kabupaten Rembang
|
Rp 1.120.000
|
12.
|
Kabupaten Boyolali
|
Rp 1.197.800
|
13.
|
Kota Surakarta
|
Rp 1.222.400
|
14.
|
Kabupaten Sukoharjo
|
Rp 1.223.000
|
15.
|
Kabupaten Sragen
|
Rp 1.105.000
|
16.
|
Kabupaten Karanganyar
|
Rp 1.226.000
|
17.
|
Kabupaten Wonogiri
|
Rp 1.101.000
|
18.
|
Kabupaten Klaten
|
Rp 1.170.000
|
19.
|
Kota Magelang
|
Rp 1.211.000
|
20.
|
Kabupaten Magelang
|
Rp 1.255.000
|
21.
|
Kabupaten Purworejo
|
Rp 1.165.000
|
22.
|
Kabupaten Temanggung
|
Rp 1.178.000
|
23.
|
Kabupaten Wonosobo
|
Rp 1.166.000
|
24.
|
Kabupaten Kebumen
|
Rp 1.157.000
|
25.
|
Kabupaten Banyumas
|
Rp 1.100.000
|
26.
|
Kabupaten Cilacap:
- Wilayah Kota
- Wilayah Timur
- Wilayah Barat
|
Rp 1.287.000
Rp 1.200.000
Rp 1.100.000
|
27.
|
Kabupaten
Banjarnegara
|
Rp 1.112.500
|
28.
|
Kabupaten Purbalingga
|
Rp 1.101.600
|
29.
|
Kabupaten Batang
|
Rp 1.270.000
|
30.
|
Kota Pekalongan
|
Rp 1.291.000
|
31.
|
Kabupaten Pekalongan
|
Rp 1.271.000
|
32.
|
Kabupaten Pemalang
|
Rp 1.193.400
|
33.
|
Kota Tegal
|
Rp 1.206.000
|
34.
|
Kabupaten Tegal
|
Rp 1.155.000
|
35.
|
Kabupaten Brebes
|
Rp 1.166.550
|
UMK YOGYAKARTA
(DIY) 2015
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku
Buwono X telah menekan Surat Keputusan (SK) Gubernur DIY Nomor 252/Kep/2014
tentang Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) 2015 di DIY.
Berdasarkan SK tersebut, UMK tertinggi berada di Kota
Yogyakarta dan UMK terendah di Gunung Kidul.
NO
|
NAMA
KABUPATEN
|
UMK 2015
|
1.
|
Kota Yogyakarta
|
Rp 1.302.500
|
2.
|
Kabupaten Sleman
|
Rp 1.200.000
|
3.
|
Kabupaten Bantul
|
Rp 1.163.800
|
4.
|
Kabupaten Kulon Progo
|
Rp 1.138.000
|
5.
|
Kabupaten Gunung
Kidul
|
Rp 1.108.249
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar