Rabu, 01 Juli 2015

Telaah UU SISDIKNAS

BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
            Berdasarkan pemaparan H. A. R. Tilaar (2009: 50) bahwa: “Pendidikan merupakan kegiatan yang esensial dalam setiap kehidupan masyarakat”. Pendidikan merupakan aspek pokok bagi kehidupan suatu bangsa. Kondisi bangsa dimasa datang, sangat dipengaruhi oleh paradigma berfikir masayarakatnya yang terbentuk melalui suatu proses pendidikan. Proses pendidikan yang terarah akan membawa bangsa ini menuju peradaban yang lebih baik. Sebaliknya, proses pendidikan yang tidak terarah, hanya akan menyita waktu, tenaga, serta dana tanpa ada hasil. Dengan demikian, sistem pendidikan sebagai implementasi pendidikan nasional sangat menentukan maju mundurnya bangsa ini.
            Pendidikan nasional telah diatur dan didefinisikan dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) nomor 20 Tahun 2003. Dalam UU tersebut pendidikan didefinisikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pendidikan agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsan dan negara. Selain itu, dijelaskan pula bahwa Pendidikan Nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tersebut berkedudukan sebagai landasan hukum dalam penyelenggaraan setiap sistem pendidikan. UU No. 20 Tahun 2003 ini merupakan salah satu perangkat pendidikan yang sudah semestinya dirumuskan secara baik dan proporsional. Hal ini berkaitan dengan keberadaan UU Sisdiknas tersebut yang berfungsi dalam menjabarkan bagaimana tujuan Visi dan Misi Pendidikan Nasional, hingga mekanisme prosedural pendidikan diatur, dengan tidak melepaskan konteks sosial-politik saat ini dan masa depan. Oleh karena itu, dalam hal ini dapat dikatakan bahwa baik dan buruk sistem pendidikan dapat dilihat dari keberadaan UU, dan sistem pendidikannya.
            Atas dasar pentingnyakeberadaan daripada Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tersebut, maka pada kesempatan ini kelompok bermaksud untuk menyusun makalahdengan judul “Analisis Terhadap Undang-undang No.20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional”.
A.                Rumusan masalah
Dari beberapa uraian pemikiran yang telah kelompok rangkum pada latar belakang diatas, maka terdapat rumusan permasalahan sebagai berikut:
a)                  Bagaimana kajian teknis dari UU No. 20 Tahun 2003?
b)                  Bagaimana kajian isi/ substansi dari UU No. 20 Tahun 2003?
c)                  Bagaimana kajian empiris dari UU No. 20 Tahun 2003?
d)                 Bagaimana prospek UU No. 20 Tahun 2003 untuk ke depannya?

B.                 Tujuan
Tujuan merupakan target yang hendak dicapai dalam melakukan suatu kegiatan. Berdasarkan rumusan masalah yang dirumuskan kelompok diatas, maka tujuan daripada penulisan makalah ini antara lain:
a)                  Untuk mengetahui kajian teknis dari UU No. 20 Tahun 2003;
b)                  Untuk mengetahui kajian isi/ substansi dari UU No. 20 Tahun 2003;
c)                  Untuk mengetahui kajian empiris dari UU No. 20 Tahun 2003; dan
d)                 Untuk mengetahui prospek ke depan UU No. 20 tahun 2003


BAB II
ANALIS
A.  Kajian Teknis
            Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 merupakan produk hukum dalam bidang pendidikan yang disusun atas dasar penyempurnaan dari Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989. UU No. 20 Tahun 2003 ini disahkan di Jakarta pada 8 Juli 2003 oleh Presiden Republik Indonesia yakni Ibu Megawati Soekarnoputri. UU No. 20 Tahun 2003 ini mengatur tentang Sistem Pendidikan Nasional. UU No. 20 Tahun 2003 ini terdiri dari 22 BAB, 77 Pasal dan 252 Ayat. Dalam peraturan ini secara teknis peraturan ini sudah mencakup tiga kaedah hukum sebuah peraturan, diantaranya, yakni gebod (perintah atau suruhan), mogen (kebolehan), dan verbod (larangan).
            Dalam UU No. 20 Tahun 2003 ini, tiga kaedah hukum yang ada, sebagaimana dapat dilihat pada pemaparan dari ayat ke ayat dalam sebuah pasal. Dimana diantaranya untuk contoh dari ayat yang memuat unsur kaedah hukum berupa gebod (perintah atau suruhan) adalah pada pasal 7 ayat 2 yang berbunyi “Orang tua dari anak usia wajib belajar, berkewajiban memberikan pendidikan dasar kepada anaknya.”. Selanjutnya unsur kaedah hukum berupa mogen (kebolehan) dapat dilihat dari pasal 23 ayat 1 yang berbunyi “Pada universitas, institut, dan sekolah tinggi dapat diangkat guru besar atau profesor sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”. Dan yang terakhir untuk pasal yang memuat kaedah hukum berupa verbod (larangan) dapat dilihat dari pasal 21 ayat 2 yang berbunyi “Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan yang bukan perguruan tinggi dilarang memberikan gelar akademik, profesi, atau vokasi”. 



B.  Kajian Isi/ Substansi
UU No. 20 Tahun 2003 sebagai produk sebuah perundang-undangan dalam mengatur sistem pendidikan nasional tersusun atas tiga kelompok bagian. Ketiga kelompok bagian tersebut terdiri daripada pendahuluan, batang tubuh, dan penutup. Berikut penjabaran atas tiga kelompok bagian daripada UU NO. 20 Tahun 2003 tersebut.
1.)   Pendahuluan
            Bagian pendahuluan daripada UU No. 20 Tahun 2003 ini memuat bagian konsideran beserta definisi-definisi mengenai makna-makna daripada kata-kata yang terdapat dalam UU No. 20 Tahun 2003 ini. Dalam bagian pendahuluan tepatnya untuk konsideran ini UU No. 20 Tahun 2003 ditetapkan berdasarkan berbagai aspek pertimbangan, antara lain: pembukaan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang mengamanatkan bahwa Pemerintahan Negara Indonesia berperan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, isi daripada UUD 1945 yang mengamanatkan bahwa Pemerintah perlu untuk menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, dan UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang dianggap tidak memadai lagi dan perlu diganti serta perlu disempurnakan agar sesuai dengan amanat perubahan UUD Tahun 1945 serta dengan mengingat Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28 C ayat (1), Pasal 31, dan Pasal 32 UUD Tahun 1945.
2.)   Batang Tubuh
            Dalam bagian batang tubuh ini kami membaginya beradasarkan bidang garapan Administrasi Pendidikan, antara lain:
a)      Peserta Didik
Dalam BAB V pasal 12 ayat 1 sampai 4 dijelaskan bahwa peserta didik memiliki hak dan kewajiban, antara lain berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai yang dianutnya, mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan minat dan bakat serta kemampuannya, bagi yang orangtuanya tidak mampu peserta didik mendapat bantuan biaya. Selanjutnya peserta didik berkewajiban menjaga norma-norma pendidikan untuk menjamin keberlangsungan proses dan hasil pendidikan. Disini juga dijelaskan bahwa warga negara asing dapat menjadi peserta didik pada satuan pendidikan yang diselenggarakan dalam wilayah NKRI.
 b)     Pendidik dan Tenaga Kependidikan
Dalam BAB XI pasal 39 sampai pasal 44 dijelaskan bahwa tugas pendidik pada intinya adalah melaksanakan pembelajaran dan tenaga kependidikan bertugas dalam kegiatan administrasi. Selanjutnya dijelaskan pula mengenai hak dan kewajiban dari pendidik dan tenaga kependidikan. Pendidik dan tenaga kependidikan disini ditempatkan berdasarkan kebutuhan satuan pendidikan formal melihat dari kebutuhan daerah dimana disini pemerintah memfasilitasi segala keperluan dari pendidik dan tenaga kependidikan. Selain itu dalam hal ini dipaparkan juga mengenai ketentuan kualifikasi, promosi, penghargaan, dan sertifikasi. Pengembangan pendidik dan tenaga pendidik dalam hal ini harus mampu dikembangkan oleh pemerintah dan pemerintah daerah.
c)      Sarana dan Prasarana
Dalam BAB XII pasal 45 yang terdiri dari 2 ayat dijelaskan bahwa setiap satuan pendidikan wajib menyediakan sarana dan prasarana yang mendukung keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan peserta didik. Selanjutnya ketentuan yang berkaitan dengan penyediaan sarana dan prasarana ini diatur dalam peraturan pemerintah.
d)       Pendanaan Pendidikan
Dalam BAB XIII pasal 46 sampai pasal 49 dijelaskan bahwa pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat bertanggungjawab terhadap pendanaan pendidikan dalam hal menyediakan sumber pendanaan pendidikan dengan prinsip keadilan, kecukupan, dan keberlanjutan serta pengarahannya yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, pengelolaan dana pendidikan, dan pengalokasian dana pendidikan minimal sebesar 20 % dari APBN, 20 % APBD dan hibah yang dialokasikan untuk dana penyelenggaraan pendidikan.
e)      Kurikulum
Dalam BAB X pasal 36 sampai 38 dijelaskan bahwa pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan potensi daerah dan peserta didik. Dalam kurikulum ini harus memuat nilai-nilai khusus yang telah disepakati dalam menjamin tercapainya tujuan pendidikan nasional. Selanjutnya dalam dalam struktur kurikulum pada pendidikan dasar, menengah, bahkan tinggi ini harus memuat beberapa muatan wajib berupa matapelajaran yang harus disampaikan dalam penyelenggaraan kegitan pendidikan yang dilaksanakan pada jenjang-jenjang tersebut. Lebih lanjut lagi, bahwa kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan dasar dan menengah ditetapkan oleh pemerintah, sedangkan kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan oleh perguruan tinggi itu sendiri dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk setiap program studinya.
(f)      Hubungan Sekolah dan Masyarakat
Dalam BAB XV pasal 54 sampai pasal 56 dijelaskan bahwa hubungan sekolah dan masyarakat dalam hal ini salah satunya berupa peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengndalian mutu pelayanan pendidikan. Melihat terdapatnya hubungan sekolah dan masyarakat maka dalam hal ini perlu adanya penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dengan mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan pendanaannya sesuai dengan standar nasional pendidikan.
3.) Penutup
Bagian penutup dalam UU No. 20 Tahun 2003 ini terdiri daripada ketentuan pidana dalam BAB XX pasal 67 sampai pasal 71, ketentuan peralihan dalam BAB XXI pasal 72 sampai pasal 74, dan ketentuan penutup dalam pasal 75 sampai pasal 77. Ketentuan pidana berisi mengenai beberapa tindakan pidana baik berupa kurungan maupun denda terhadap segala tindakan yang melanggar peraturan mengenai penyelenggaraan pendidikan dari berbagai kegiatannya. Selanjutnya dalam ketentuan peralihan diatur mengenai pemberlakuan penyelenggaraan pendidikan yang pada saat undang-undang ini diberlakukan belum berbentuk badan hukum pendidikan, waktu perijinan selambat-lambatnya 2 tahun bagi satuan pendidikan formal yang telah berjalan namun belum memiliki ijin, dan pemberlakuan peraturan pelaksanaan UU No. 2 Tahun 1989 selama tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan undang-undang ini. Kemudian yang terakhir dalam bagian penutup ini dipaparkan mengenai peraturan perundang-undangan yang tidak berlaku lagi setelah UU ini diterbitkan.

C.  Kajian Empiris
            Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 telah bertahan untuk saat ini kurang lebih selama 9 tahun. Angka tersebut merupakan angka yang cukup matang untuk terlaksananya suatu kualitas pendidikan yang semakin tinggi dan bermutu. Namun pada akhir-akhir ini aturan yang terdapat dalam Undang-Undang tersebut banyak yang kurang atau bahkan tidak sesuai lagi dengan perkembangan negara Indonesia saat ini. Berdasarkan pendapat dari H. A. R Tilaar (2006: 1) bahwa:
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional menggarisbawahi perlunya komitmen pemerintah terhadap pendidikan namun dalam APBN/ APBD justru dikalahkan oleh suatu peraturan pemerintah. Kurangnya komitmen pemerintah pusat dan daerah untuk menjadikan pendidikan sebagai titik tolak reformasi masyarakat dan bangsa Indonesia menuju masyarakat yang cerdas dan demokratis sebenarnya telah tampak di dalam ketiadaan arah pengembangan pendidikan nasional.
            Pendapat dari H. A. R Tilaar di atas telah menggambarkan keberadaan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 ini kurang bisa mempertahankan peraturan yang telah dimuat didalamnya untuk kondisi pendidikan di lapangan pada saat ini. Pemerintah yang semula berkomitemen untuk pendidikan, dewasa ini komitmen mereka telah memudar hingga tidak memikirkan pengembangan pendidikan nasional. Hal tersebut merupakan sebuah pemikiran kritis daripada perbaikan sebuah Peraturan Perundang- Undangan.
            Berdasarkan analisis yang dilakukan oleh kelompok terhadap UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang kemudian dikenal dengan UU Sisdiknas, kelompok memberikan beberapa pemikiran kritis terhadap beberapa pasal yang kelompok anggap keberadaannya ini memerlukan sebuah perbaikan akan kurang sesuainya UU No. 20 Tahun 2003 ini dengan kondisi pendidikan saat ini maupun kejelasan daripada pasal-pasal tersebut dengan sebuah kajian empiris. Berikut hasil daripada kajian empiris yang telah kelompok kami lakukan.
a)   Pasal 5 ayat 3
“Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus”.
Dalam penjelasan pasal 5 ayat 3 tersebut cenderung tidak menyamakan hak dari setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan yang sama, karena dalam ayat tersebut dituliskan kata-kata “masyarakat di daerah terpencil/ terbelakang”. Kata-kata yang terdapat dalam pasal 5 ayat 3 tersebut secara tidak langsung telah membedakan antara masyarakat di daerah terpencil dengan daerah lainnya yang notabennya adalah daerah perkotaan.


b)   Pasal 5 ayat 5
“Setiap warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat”.
Dalam penjelasan pasal 5 ayat 5 ini dijelaskan mengenai kesempatan warga negara untuk meningkatkan pendidikan sepanjang hayat. Namun pada kenyataannya pada pendidikan dasar dan menengah tersebut terdapat pembatasan usia dalam  memperoleh pendidikan. Jadi, ayat tersebut tidak selaras dengan kenyataan yang ada.
c)    Pasal 7 ayat 2
“Orangtua dari anak usia wajib belajar berkewajiban memberikan pendidikan dasar pada anaknya”
Dalam ayat tersebut dijelaskan mengenai kewajiban orangtua dalam memberikan pendidikan dasar pada anaknya. Namun akan lebih baik bila dalam ayat tersebut dijelaskan pula mengenai sanksi daripada pelanggarannya. Karena bila dilihat pada kondisi pendidikan saat ini sangat banyak orangtua yang tidak mendukung pendidikan anaknya, mereka lebih menyuruh anaknya untuk bekerja dalam membantu ekonomi keluarga daripada mengikuti wajib belajar 9 tahun.
d)   Pasal 31 ayat 3
“Pendidikan jarak jauh diselenggarakan dalam berbagai bentuk, modus, dan cakupan yang didukung oleh sarana dan layanan belajar serta sistem penilaian yang menjamin mutu lulusan sesuai dengan standar nasional pendidikan.”
Dalam pasal 31 ayat 3 tersebut kurang dipahami mengenai bentuk dari pendidikan jarak jauh itu seperti apa, karena dalam pasal 31 ayat 3 tersebut tidak diuraikan contoh bentuk pendidikan jarak jauh tersebut seperti yang ada di pendidikan keagamaan.
e)    Pasal 34 ayat 1
“Setiap warga negara yang berusia 6 tahun dapat mengikuti program wajib belajar”.
Dalam pasal 34 ayat 1 tersebut disebutkan bahwa warga negara yang berusia 6 tahun dapat mengikuti program wajib belajar. Sedangkan pada pasal 6 ayat 1 disebutkan setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar mulai usia 7 tahun. Hal ini menunjukkan tidak adanya sinkronisasi antara kedua pasal tersebut dalam menentukan usia minimal pendidikan dasar, karena terdapat dua standar usia yang berbeda.
f)    Pasal 34 ayat 2
“Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya”.
Pada pasal tersebut dianggap tidak sesuai dengan kondisi pendidikan di Indonesia pada saat ini karena dilapangan bisa dilihat bahwa di sekolah swasta itu pemerintah tidak sepenuhnya mendukung pembebasan biaya pendidikan.
g)   Pasal 50 ayat 1
“Pengelolaan sistem pendidikan nasional merupakan tanggung jawab menteri”.
Pada pasal ini terdapat kekurangan yaitu tidak mencantumkan spesifik menteri yang dimaksud.
h)   Pasal 50 ayat 3
“Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional”.
Berdasarkan kondisi warga negara Indonesia yang tidak terhindar daripada warga dengan ekonomi yang kurang, maka kebijakan daripada pasal 50 ayat 3 ini tidak bisa menciptakan pendidikan yang sama untuk seluruh warga negara. Karena dengan adanya kebijakan penyelenggaraan pendidikan bertaraf internasional tersebut yang dapat memanfaatkan hanyalah orang-orang dengan kelas ekonomi yang tinggi. Selain itu kebijakan pemerintah menyelenggarakan sekolah bertaraf internasional ini juga dapat diplesetkan menjadi sekolah bertarif internasional, karena biaya pendidikan dalam sekolah bertaraf internasional tersebut melambung tinggi.
i)     Pasal 53 ayat 3
“Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan”
Dalam pasal ini tidak dijelaskan mengnai pengetian dari nirlaba, seharusnya dijelaskan makna daripada kata nirlaba itu sendiri, karena produk hukum ini digunakan oleh semua warga Negara, sehingga pengunaan kata-kata yang ada dalam perundangan ini harus jelas dan kiranya dapat dimengerti oleh seluruh warga negara.
j)     Pasal 57 ayat 2
“Evaluasi dilakukan terhadap peserta didik, lembaga, dan program pendidikan pada jalur formal dan nonformal untuk semua jenjang, satuan, dan jenis pendidikan”
Pada pasal ini tidak adanya sinkronisasi dengan pasal sebelumnya yakni Pasal 27 ayat 2, karena di dalam pasal 27 dijelasakan bahwa pendidikan jalur informal melakukan ujian atau evaluasi namun dalam pasal ini terlihat bahwa evaluasi dilakukan hanya untuk pendidikan jalur formal dan nonformal saja tanpa adanya evaluasi untuk pendidikan informal.


k)   Pasal 58 ayat 1
“Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan”.
Pasal tersebut tidak sesuai dengan keadaan dilapangan karena evaluasi hasil belajar peserta didik dewasa ini ditentukan oleh pemerintah pusat semata melalui Ujian Nasional (UN). Jadi atas dasar hal tersebut dapat kita lihat bahwa ketetapan mengenai evaluasi pendidikan yang terdapat dalam UU No. 20 Tahun 2003 ini seolah-olah tidak digunakan dilapangan. Evaluasi pendidikan yang ada dewasa ini mengacu pada PP No. 19 Tahun 2005 bukan pada UU No. 20 Tahun 2003. Pada pelaksanaan pendidikan saat ini seakan-akan PP No. 19 Tahun 2005 telah mengalahkan UU No. 20 Tahun 2003 yang semestinya menjadi induk terhadap penyelenggaraan evaluasi peserta didik.
l)   BAB 20 mengenai KETENTUAN PIDANA
Dalam BAB tersebut sebaiknya terdapat ketentuan pidana mengenani wajib belajar, karena sesuatu yang wajib tersebut bila tidak dipatuhi seharusnya terkena sanksi dan dijelaskan pada BAB ini jenis sanksi-sanksinya apa saja.

D.  Prospek Ke Depan UU No. 20 Tahun 2003
            Prospek ke depan terhadap UU No. 20 Tahun 2003 ini adalah bahwa untuk keberadaan UU No. 20 Tahun 2003 itu sendiri pada masa mendatang dianggap perlu adanya pembaharuan terhadap peraturan yang ada. Hal ini perlu dilakukan mengingat bahwa keberadaan UU No. 20 Tahun 2003 ini dalam penjelasan beberapa pasalnya memiliki kelemahan-kelemahan baik yang tidak sesuai dengan kondisi pendidikan saat ini maupun pasal-pasal yang kurang mendasari pencapaian visi dan misi pendidikan nasional.
            Perkembangan pendidikan pada masa depan yang dapat diprediksikan mengalami banyak perubahan yang kompleks sangat berdampak pada perlunya sebuah peraturan yang mampu mendukung keterlaksanaan penyelenggaraan pendidikan. Maka dari itu, UU No. 20 Tahun 2003 ini sangat perlu untuk diperbaharui lagi dengan melihat tantangan pendidikan pada masa kini dan masa yang akan datang.

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
            Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 (UU NO. 20 Tahun 2003) merupakan sebuah produk hukum dalam dunia pendidikan yang berfungsi dalam mengatur segala aspek kegiatan yang dilakukan dalam cakupan pendidikan nasional. Kesempurnaan daripada UU ini dapat dilihat dari segi penilaian berdasarkan daripada segi teknis, isi atau substansi maupun empiris.

            Secara keseluruhan muatan daripada UU NO. 20 Tahun 2003 ini sudah memenuhi kebakuan sebuah Peraturan Perundang-undangan dengan adanya unsur-unsur norma sebuah produk hukum yang diantaranya adalah gebod, verbod, dan mogen. Selanjutnya berdasarkanisi atau substansinya, UU No. 20 Tahun 2003 ini telah memuat peraturan-peraturan yang cukup padat sebagai pedoman pokok penyelenggraan satuan maupun proses pendidikan nasional. Namun dalam UU NO. 20 Tahun 2003 ini juga secara isi atau substansi masih terdapat juga kekurangan-kekurangan yang membutuhkan penyempurnaan dalam pembahasan setiap ayat dalam sebuah pasal. Kemudian yang terakhir secara empiris dengan memperhatikan kondisi rill pendidikan Indonesia saat ini UU NO. 20 Tahun 2003 ini masih memerlukan banyak perbaikan ke arah yang lebih baik lagi untuk terciptanya pendidikan yang benar-benar berlandaskan nasionalisme dalam mendukung tujuan mulia daripada penddikan itu sendiri. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar